Salman Reading Corner



Apa yang paling menyenangkan di lingkungan mesjid Salman ITB?.

Jika pertanyaan itu dilontarkan pada banyak aktivis Salman, saya yakin jawabannya pasti beragam, meski demikian saya harus mengakui bahwa salah satu alasan saya ingin masuk ITB dulu adalah karena saya jatuh cinta pada mesjidnya. Rasa cinta yang mungkin wajar adanya karena sejak SD saya sering diajak Ibu yang rutin mengikuti kuliah Dluha setiap minggu pagi di mesjid ini. 

Sempat terputus ketika SMP, siapa sangka jika ketika SMA cinta itu tumbuh kembali, kali ini lewat ajakan seorang teman, Mas Bambang Wibisono yang ketika itu bersama teman-teman di jurusan Filsafat UIN SGD bekerjasama dengan beberapa aktifis Salman mendirikan SKAU (Salman Komunikasi Antar Umat). 

Merasa SKAU terlalu berat untuk seorang abege dengan pemikiran sederhana seperti saya ketika itu (wadezig!!!), akhirnya saya pindah ke PRPA (Pembinaan Remaja Pra Aktifis). Kegiatan yang membuat saya harus datang ke Salman minimal satu kali seminggu ini membuat saya akhirnya terbiasa lagi dengan suasananya, dengan lantai kayu jatinya, dengan bentuknya yang aneh tanpa kubah seperti lazimnya mesjid-mesjid yang lain, dengan sensasi dingin dan teduh saat duduk bersimpuh didalamnya.

Ditambah dengan penampakan mahasiswa-mahasiswa ITB yang menurut saya ketika itu sangat keren, semakin inginlah saya kuliah di ITB. (Belakangan baru saya tahu, keren menurut saya cukup berbeda dengan keren menurut pandangan umum, belakangan kemudian saya juga baru tahu bahwa ITB selain sering diplesetkan sebagai Institut Tambal Ban, juga sering diguyonkan sebagai Institut Tanpa Bidadari, bahkan oleh mahasiswa-mahasiswanya sendiri =D).

Ketika benar-benar sudah diterima menjadi mahasiswa ITB, mudah ditebak, Salman adalah tempat pemberhentian saya dalam pengertian denotatif maupun konotatif. Saat senggang menunggu jeda sebelum jam kuliah berikutnya, saya suka sekali sekedar duduk di koridor depan toilet sambil membaca Qur'an atau membaca buku apa saja. Jika disitu sudah terlanjur penuh, barulah saya naik ke koridor atas, sambil makan cemilan yang saya beli di Istek. Dan jika lapar saya akan mengantri di barisan akhwat di Kantin Salman. Ah ya, Kantin Salman, mungkin kantin ini pun menjadi salah satu alasan menyenangkan lainnya dari mesjid ini. Dengan konsep antriannya yang memisahkan konsumen laki-laki dan perempuan, kemudian penerapan sistem prasmanan yang memungkinkan konsumen makan dalam porsi jumbo, ditambah harga makanannya yang murah meriah, wajarlah jika kantin ini selalu penuh pengunjung, meski tentu saja tak ada yang sempurna di dunia ini karena menurut seorang teman rasa semua makanannya sama  =D.



*selasar Salman yang selalu penuh.

Mesjid, Gedung Kayu, kantin, toko Istek, Taman Ganesha, lengkap sudah syarat yang membuat saya selalu ingin kembali ke tempat ini, bahkan setelah saya lulus kuliah. Dan ketika kesempatan untuk kuliah lagi di ITB itu datang, kompleks Salman adalah tempat yang pertama saya kunjungi sebelum kampus. Dan betapa senangnya saya, ketika menemukan tak banyak yang berubah dari mesjid ini, masih sama seperti dulu ketika terakhir saya menginjakkan kaki disitu. Beberapa hal memang berubah, tapi ke arah yang lebih baik, contohnya air minum gratis, serta teh manis dan kopi gratis yang kini selalu tersedia untuk jamaah. Perbaikan lainnya adalah perpustakaan Salman yang meskipun tempatnya masih di pojok Gedung Kayu lantai bawah, kini berganti nama menjadi Salman Reading Corner (SRC).


Jika jaman saya S1 dulu koleksinya hanya berupa buku-buku agama yang itupun kebanyakan adalah koleksi lama, maka kini koleksi SRC mencakup buku-buku novel dan sastra. Yang paling mengesankan adalah koleksi buku agama dan novelnya lengkap dan up to date. Begitu juga koran, majalah Tempo dan satu lagi: National Geographic!!. Membuat orang yang suka membaca tapi enggan membeli seperti saya ini berjingkrak kegirangan setiap berkunjung kesana hehehe...

Syarat menjadi anggotanya pun mudah saja, cukup menyerahkan foto copy identitas  serta uang dua puluh ribu rupiah untuk masa keanggotaan enam bulan, maka kita sudah berhak meminjam dua buah buku dengan jangka waktu peminjaman satu minggu. Denda keterlambatan lima ratus rupiah perbuku perhari. (Lebih murah dari denda Perpustakaan Pusat ITB yang menerapkan denda keterlambatan seribu rupiah perbuku perhari huhuhu...). 

Terakhir, jika boleh saya memberi rekomendasi: ayo kita menjadi anggota Salman Reading Corner =D.



*Gambar saya ambil dari http://www.pictame.com/user/salmanreadingcorner/4204508346

Komentar

Postingan Populer