Punya Anak Banyak, Salah Siapa?
Punya banyak anak di
zaman sekarang ini adalah sebuah anakronisme a.k. menentang kelaziman a.k.
siap-siap untuk dicemooh. Tak seperti ungkapan pada zaman dahulu:”Banyak anak,
banyak rezeki”, pada masa sekarang pameo tersebut sudah tak lagi berlaku.
Tak sedikit komentar
miring yang hinggap di telinga saya, saat tahu saya tengah hamil anak kelima. Dari
mulai pernyataan standar seperti : “Emang ngga KB?”, atau “Lho, hamil lagi?, repot
banget dong”, sampai yang ekstrim seperti:”Kamu kaya kucing ya, beranak
terus” atau “YA AMPUUUN,,,HAMIL LAGI???,
kamu NGGA KASIAN ya sama kakak2nya, mereka kan masih BUTUH PERHATIAN”.
Atau bahkan
kalimat-kalimat datar yang mungkin dimaksudkan untuk memberi perhatian, tapi
sayangnya entah kenapa, terasa menyakitkan di telinga saya:
“Hamil anak kelima?,
waah…kamu kaya ya, berani punya anak banyak, saya aja punya anak dua rasanya
khawatir terus”, (ini kata salah satu profesor saya di kampus).
“Punya anak itu lebih
baik dua aja tapi berkualitas dan jadi orang semua, daripada banyak-banyak tapi
ngga keurus, biaya sekolah makin kesini makin mahal lo de…”, (kalau ini kata
Uwa saya ).
Dan begitu banyak
komentar lain yang jujur saja, terlalu menyakitkan untuk saya lupakan begitu
saja. Seolah-olah punya banyak anak adalah dosa besar dan aib untuk sebuah
keluarga. Perhatian tetangga pun rasanya jadi lebih intens, anak-anak terlihat
kotor sepulang bermain layang-layang pun bisa langsung memancing komentar
bagaimana mereka kurang terurus. Begitu pun juga saudara, satu saja anak
terlihat lebih kurus, akan langsung
memancing nasihat bagaimana cara menyuapi anak dengan benar.
Ya, nasihat-nasihat yang
mungkin bermaksud baik, tapi sayangnya karena
hati saya yang terlalu sensitif jadi malah terasa tak enak untuk didengar.
Sama seperti kasus kemandulan, kasus terlalu subur pun jadi salah pihak wanita.
Bagaimana saya kurang canggih menggunakan alat kontrasepsi, bagaimana saya
terlalu lalai hingga akhirnya hamil lagi dan hamil lagi. Ah ya, di titik-titik
terburuk, saya akan mengakui bahwa itu memang kesalahan saya, kenapa saya tak
berani mengeluarkan uang banyak untuk membayar dokter kandungan terbaik agar
saya tak perlu terus-terusan hamil.
Si pemberi komentar
mungkin hanya mengatakan nasihat-nasihat itu sambil lalu, tapi efeknya untuk
saya yang dikomentari ternyata luar biasa, kalimat-kalimat itu akan mengendap
terus di kepala saya, hingga saya pun mulai menyalahkan diri sendiri, “iya,
kenapa saya harus terus-terusan hamil, padahal saya belum mampu jadi orang tua
ideal, benarkah anak-anak saya tak terurus, ah mungkin benar, saya hampir tak
punya waktu untuk mengecek buku PR mereka setiap malam.”
Kalimat-kalimat itu
begitu mengganggu, padahal kondisi tubuh saya yang sedang berbadan dua pun tak
bisa untuk dikatakan benar-benar sehat. Repot?, memang repot, saya sendiri
mengakui hal itu. Kuliah S2 saya belum lagi selesai, ditambah beban suami yang
harus mengurus juga bisnis keluarga, (disamping pekerjaan beliau sebagai dosen),
membuat saya mau tak mau harus mengambil alih semua tugas kuliah doktoral beliau.
Bayangkan saya harus
mengerjakan tesis, penelitian ilmiah dan disertasi sekaligus, berikut
mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa khadimat. Kadang, saya juga masih harus
terlibat membantu bisnis suami. Ada saat saya bertanya, kenapa Allah menitipkan
saya amanat berupa anak terus menerus, padahal saya sendiri merasa belum mampu. Ada saat-saat dimana saya
menangis sendirian, saat cucian menumpuk, si sulung minta dibuatkan kostum
seni, anak kedua mencari pensil warna,
yang ketiga berteriak-teriak mencari kaus kaki, dan yang keempat kehausan meminta ASI, sementara tugas kuliah
dikejar deadline. Ada saat-saat
dimana saya merasa saya adalah seburuk-buruk orangtua, yang membiarkan diri
sendiri hamil lagi dan hamil lagi, padahal yang sudah jelas ada di dunia pun
belum sepenuhnya terpenuhi haknya.
Saat seperti ini betapa
mudahnya untuk merasa terpuruk, saat anak pertama tak jadi juara kelas, saya
akan berandai-andai jika saja saya punya anak satu atau dua saja, mungkin saya
akan punya lebih banyak waktu untuk menemaninya belajar. Saat anak kedua lebih
suka bermain game daripada bermain keluar, saya akan berandai-andai jika saja
saya punya banyak waktu untuk menemaninya bermain aktifitas fisik, dan
begitulah… banyak sekali kasus dimana saya menyalahkan diri sendiri dan
berpikir keadaan akan lebih baik ketika saya punya sedikit anak.
Saat seperti inilah yang
membuat saya melupakan karunia Allah yang lain. Saya lupa bagaimana Allah
mengaruniai saya rahim yang kuat, hingga saat hamil, berkali-kali saya jatuh
dari tangga, atau dari motor hingga sekujur tubuh saya babak belur sekalipun,
janin dalam rahim saya sama sekali tak terganggu, sehat tak kurang suatu
apapun. Padahal banyak teman saya yang mencuci sedikit lebih banyak dari
biasanya saja sudah bisa membuat keguguran.
Saya juga lupa betapa
Allah selalu memberi saya kemudahan setiap melahirkan, semua persalinan saya
normal dengan waktu hanya dua jam dari kontraksi pertama ke waktu lahir, dan
kesehatan yang selalu Allah berikan hingga dua hari pasca melahirkan pun saya
langsung bisa beraktifitas seperti biasa. Padahal banyak yang saya kenal, dua
hari di rumah sakit dari kontraksi pertama, barulah bayinya lahir, harus
operasi pula. Jadilah si ibu bed rest berminggu-minggu.
Saya lupa betapa semua
anak saya sempurna secara fisik dan mental, padahal ada beberapa teman yang
saya kenal diberi ujian anak yang kekurangan salah satu anggota tubuh atau pun
kekurangan secara mental.
Dan yang paling krusial
adalah, saya lupa betapa Allah memberi saya kemudahan untuk hamil lagi dan
hamil lagi padahal tak sedikit pasangan yang berobat hingga menghabiskan uang
ratusan juta dengan penantian hingga berbelas tahun hanya untuk kehadiran
seorang bayi mungil di rumah mereka.
Betapa mudahnya untuk
mengingkari nikmat Allah.
Sampai saya menemukan
tulisan ini. Ya bukankah anak itu adalah hak Allah, maka terserah Allah-lah
akan menitipkan amanat-Nya kepada siapa. Ada yang diberi kemudahan punya anak,
ada juga yang diberi ujian untuk menunggu lama, tapi tak sedikit yang bahkan
tak diberi sama sekali. Tapi bukankah semua adalah ketetapan-Nya, dan bukankah
Ia tak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya.
Maka saat semua upaya
untuk mengatur jarak kelahiran tak berhasil, saya yakin ada hikmah yang lebih
besar di balik itu. Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. dan saya yakin
Allah tahu sejauh mana kapabilitas hamba-Nya menanggung beban.
Ia tahu saya bukan orang tua ideal, maka mungkin karena itulah Ia menitipkan
lagi dan lagi amanat-Nya pada saya, untuk memicu saya agar terus belajar, agar saya menggenapkan
kesabaran dan berproses menuju orang tua ideal. Maka yang perlu saya lakukan hanyalah memohon agar Ia
memberi saya kekuatan dan membimbing saya dalam proses menjaga amanat yang
dititipkan-Nya.
Jika dianalogikan, mungkin saya ini seperti anak SD yang harus mengikuti ujian siswa SMP padahal sang pemberi ujian tahu saya mampu menyelesaikan soal siswa SMP, maka yang harus dilakukan bukanlah bagaimana agar saya bisa melewatkan ujian SMP dan kembali ke ujian SD, tapi bagaimana memampukan diri sendiri menyelesaikan ujian SMP.
Ya Allah berat sekali
tanggung jawab yang Engkau titipkan, maka mampukanlah hamba...
*edisi mengingatkan diri sendiri.
** update: tulisan ini dibuat saat saya hamil anak kelima, sekarang saya sudah punya anak enam, dan inilah penampakan keluarga kami =D.
Subhaanallaah, inspiratif :""")
BalasHapusAlhamdulillah :) saya sangat senang dengan ungkapan ini mba, memang sebaiknya segala urusan dikembalikan kepada yang punya, Allah SWT. Terima kasih tulisannya :) ;)
BalasHapusAss.alhamdulillah, saya sangat senang dengan ungkapan bunda, memang itu sudah dia tur sama alloh, istri saya juga punya 8 anak , tapi saya percaya alloh akan jamin kehidupan keluarga saya alloh maha tau akan segala kejadian yang akan datang aminn
BalasHapusAss.alhamdulillah, saya sangat senang dengan ungkapan bunda, memang itu sudah dia tur sama alloh, istri saya juga punya 8 anak , tapi saya percaya alloh akan jamin kehidupan keluarga saya alloh maha tau akan segala kejadian yang akan datang aminn
BalasHapusLagi takut punya anak 😫😭 dan nyari artikel, "kenapa harus berani punya anak"
BalasHapusSampailah sy diartikel ini: bahwa allah lebih tahu kemampuan hambanya. Dia SWT. Akan memberikan segala sesuatu karena kesanggupan hambanya. 🙏