BALADA TESIS (Untuk yang sedang Galau karena Tesis)



Alhamdulillah…akhirnya lulus sidang juga… T_T

Adalah Pak Indra Djati Sidi, dosen penguji (a.k.a dosen pembimbing) saya yang berperan penting dalam selesainya tesis ini. Tanpa beliau, saya mungkin tak akan pernah lulus dari kampus ini, tanpa beliau saya mungkin tak akan mengerjakan tesis ini dengan sepenuh hati, dan tanpa beliau tesis ini mungkin hanya akan jadi sekedar syarat sebuah kelulusan.

Tapi Pak Indra Djati-lah yang tetap memotivasi saya di saat terpuruk, dan mengajarkan pada saya banyak hal yang jauh lebih penting dari reliabilitas bangunan. Saya masih ingat, di suatu sore yang suram di gedung CIBE, entah untuk yang ke-berapa puluh kalinya dalam 3 bulan itu, saya menunggu beliau yang sedang membimbing mahasiswa lain, dan saya mendengar aliran suaranya keluar dari ruangan:

“Menjadi master itu de, bukan sekedar kamu bisa menghitung struktur gedung, tapi menjadi master itu adalah tentang bagaimana kamu bisa menaklukkan diri kamu sendiri, bagaimana kamu bisa menyelesaikan semua masalah hidup yang terintegrasi dengan masalah sekolah kamu. Ngga ada alasan pekerjaan saya, anak saya, istri saya, suami saya, ngga ada, kamu harus bisa menyelesaikan semua itu sekaligus. Dan ngga boleh ada korban, kamu jangan mengorbankan keluarga kamu untuk studi kamu, begitu juga sebaliknya. Disitu juga akan diuji ketangguhan kamu, mungkin nanti kamu akan begadang setiap malam, belajar, harus minum kopi, tapi jika kamu mampu melewati semua itu, kamu akan dapat feel: saya layak menjadi seorang master. Jangan terbiasa mencari-cari alasan untuk sebuah kesalahan, tapi belajarlah untuk bertanggung jawab dan menghadapi semua konsekuensi kesalahan kamu.”

Di luar ruangan beliau, saya tertegun, rasanya sekawanan samurai menusuk telinga saya. Beliau berkata-kata pada mahasiswa bimbingannya yang lain, tapi betapa saya merasa bahwa semua kata-kata itu ditujukan pada saya.

Dan mungkin kata-kata itulah yang menjelma cambuk bagi saya, yang memaksa saya untuk tak menyerah meski rumit sekali jalan yang harus saya tempuh bahkan untuk sekedar bisa sidang. Belajar, belajar dan belajar. Setumpuk jurnal dan buku teks, sederet rumus berikut perhitungan struktur dan probabilitas, sekian bulan hampir gila dalam pengertian konotatif dan denotatif, sampai pada satu titik saya muak bahkan sekedar melihat diagram tegangan-regangan baja atau tabel distribusi normal.

Saya ingat suatu sore menjelang Maghrib yang lain di selasar Salman, dua orang mahasiswa (entah dari jurusan apa) membicarakan mata kuliah yang sedang mereka ambil.

“Ini susah banget sih, untung aja kita ngga ngambil jurusan sipil, katanya kalau sipil itungannya lebih dari ini loh, mereka harus desain juga sampai tulangan diameternya berapa jumlahnya berapa, belum nanti ngitung kapasitasnya, kalau belum kuat ulangi lagi desainnya, uuh susah banget".

Dan di pinggir mereka saya yang duduk sedari pagi mengusel-usel hitungan kapasitas balok, kolom dan pelat dengan cara manual dan pendekatan probabilitas, tetiba merasa diserang angin duduk. Rasanya mendengar humor yang paling ironi seharian itu, rasanya ingin memeluk mereka erat-erat sambil nangis dan teriak histeris: ”IYA DEE, BENER BANGEET, SUSAAAH DE, SAMPAI SEKARANG AJA SAYA MAU GILAA”, lalu tertawa terbahak-bahak untuk kemudian menangis tersedu-sedu karena terharu: akhirnya ada yang mengerti perasaan saya.

Untungnya saya takut diciduk Ibu penjaga mukena yang sedari tadi duduk di tangga.

Saya memilih diam, mengambil hp dan berlaku seperti remaja alay: mengetik wa dan curhat pada Gilang (teman saya yang juga akan sidang) tapi ternyata curhatan saya nyasar di grup whatsapp Tukang Kaos Naek Haji (teman-teman saya ketika SMA). Halah….

Rasanya belum pernah hidup saya serumit ini. Tapi sungguh saya mencoba untuk menjadikan nasihat Pak Indra Djati sebagai pedoman. Saya berusaha keras untuk tak mengeluh, pulang ke rumah saya mencoba untuk menghilangkan dahulu semua keruwetan hati dan pikiran saya, menghadapi tingkah kelima anak saya sambil menahan marah sampai rasanya tak bisa bernafas, mengerjakan tesis sambil menyusui si bungsu yang sering terbangun tengah malam hingga akhirnya saya memilih untuk memangku dia semalaman sambil mengetik daripada mengambil resiko ikut tertidur lelap (*percayalah mengeloni seorang bayi itu mendamaikan jiwa sampai bikin ikut ngantuk juga huhuhu…). Saya berusaha tetap menyelesaikan pekerjaan rumah, mencuci, memasak, beres-beres seperti biasa, tanpa khadimat dengan pikiran penuh rumus, percayalah itu tak mudah. Saya tetap membantu berjualan di pasar meski sambil membawa laptop dan segebung kertas. Saya berusaha, sungguh saya berusaha…

Pernah, sebagian hati saya menyesali, kenapa mengambil tema tesis yang terlalu teknis yang sama artinya dengan terlalu rumit, tapi sebagian hati saya yang lain berkata, tema tesis ini memang benar-benar saya inginkan, teringat lagi semangat dan tekad di awal kuliah dulu, bahwa sekaliii saja setidaknya saya membuat karya yang benar-benar saya sukai dan benar-benar menjadi karya yang serius, bukan sekedar syarat kelulusan saja.

Maka saya juga berusaha tak mengeluh, ketika satu hari menjelang sidang masih ada revisi untuk mencari beban rata-rata terhadap beban ultimate :”Jangan pakai penelitian Galambos, pakai saja judgement pribadi kamu, sense of engineering kamu, mikir kamu sedikit”.

Oke.

Padahal merubah hubungan beban rata-rata terhadap beban ultimate sama dengan merubah lagi variabel awal yang sama artinya dengan: saya harus mengulangi lagi seluruh rangkaian perhitungan, dari awal.

Dan berlangsunglah drama itu. Sidang jam setengah lima, draft saya baru selesai jam setengah tiga, setengah jam kemudian berakrobat membuat presentasi, lalu ngeprint dan lain-lain. Tepat waktu, mepet sekali.

Sidang dimulai.

"Tesis kamu menarik, karena ada tiga hal disini: pengujian material, perhitungan struktur dan probabilitas".

Kalimat pembuka dari Pak Ivan cukup membesarkan hati. Tapi pertanyaan selanjutnya alamaaak.... bolehkah saya jadi cacing dan mencari lubang?.

Satu hal penting yang menyelamatkan saya di ruang sidang adalah pertanyaan Pak Indra Djati: “Kenapa kamu pilih metoda indeks keandalan?, kenapa tidak indeks kondisi atau capacity strength saja?.”

Ini pertanyaan jebakan, esensi dari seluruh isi tesis saya, Alhamdulillah, Allah tak lantas membuat kebas seluruh otak saya: “Karena baik kapasitas maupun beban yang menimpa struktur Pak, diyakini bersifat acak atau random, akibatnya ada ketidakpastian disitu dan karena itu sebaiknya didekati dengan konsep probabilitas”.

Pak Indra Djati mengangguk puas, satu detik saya merasa lega, hanya satu detik, karena detik berikutnya ketahuan saya salah menentukan turunan kedua dari f’c sehingga varians yang saya dapat bernilai negative, daaan revisi lagi.

Begitulah,entah bagaimana akhirnya saya dapat keluar dari ruang sidang,samar2 saya ingat Pak Indra Djati, Pak Dhemi dan Pak Ivan berkata: "Selamat ya kamu lulus".

Sidang saya selesai jam 18.00 WIB. Dan hujan mengguyur kampus ITB sesorean ini. Sendirian saya duduk di selasar sipil, tak ada hal yg lebih saya inginkan selama satu tahun terakhir ini selain lulus sidang. Tapi setelah benar2 lulus, saya malah gemetar. Antara lega dan sedih, antara bahagia tapi juga pilu. Sendirian saya menatap lagi selasar sipil yang lengang dan sepi. Dengan pedih mengakui bahwa saya mencintai kampus ini, kampus yang telah membuat saya patah hati dan jatuh bangun berkali-kali.

Saya bersyukur, memilih tema reliabilitas bangunan,saya bersyukur dipertemukan dgn Pak Indra Djati,saya bersyukur Allah mempercayai saya utk mengandung dan melahirkan Angit dan Asy saat kuliah S2 ini,saya bersyukur Allah memberi saya suami yg telah menempa saya utk menjadi tangguh dan mendidik Air,Bumi dan Badai menjadi anak2 yg juga kuat, saya bersyukur memiliki sahabat sebaik Indah, saya bersyukur dipertemukan dengan Bobby, Gilang,Ainna,Dani dan teman2 lainnya yg selalu mendukung dan mendoakan. Saya bersyukur utk semua kesulitan yg saya tempuh karena itu membuat saya mencoba memaknai lagi hidup yang tengah saya jalani.

Tetiba saja kata2 Pak Indra Djati dahulu terdengar lagi di kepala saya: "Jika kamu mampu melalui semua ini,kamu boleh berkata saya layak menjadi master".

Di tengah hujan saya tersedu lagi, sendirian.

*Seandainya seluruh dosen seperti Bapak.







Komentar

Postingan Populer