SAAT KITA TAK LAGI JADI SAHABAT...

Pernahkah?, sekali saja dalam hidup, kamu memutuskan untuk mencoret nama seseorang dari hatimu?. Seseorang yang pernah punya arti, seseorang yang pernah kamu anggap lebih dari saudara, ialah seseorang yang pernah kamu panggil sahabat. 

Saya pernah, dan rasanya sungguh tak enak. 

Dan jika diingat-ingat lagi mungkin ada dua orang yang saya perlakukan seperti itu. Orang pertama adalah sahabat saya sejak SD, sebut saja namanya Ina. Persahabatan kami yang dimulai sejak SD berlangsung terus hingga SMA, bahkan hingga saya lulus SPMB dan kemudian kuliah sementara  Ina memutuskan untuk menikah dengan guru SMA-nya. Tak ada masalah sebenarnya, hanya saja lambat laun, mungkin karena kesibukan saya di kampus dan kesibukan Ina sebagai ibu rumah tangga, hubungan kami terputus begitu saja. Tak ada lagi surat-menyurat di akhir minggu (karena tiga tahun terakhir dalam masa persahabatan ini,  kami tinggal di kota yang berbeda), tak ada lagi kunjungan-kunjungan akrab setiap saya kebetulan pulang ke kampung halaman. Bahkan entah kenapa sekarang rasanya ada sekat yang tak bisa ditembus setiap saat kami bertemu. Hanya ada perbincangan-perbincangan sopan yang terasa berjarak, padahal dulu kami akan dengan heboh bercerita setiap detail kejadian yang kami alami di saat-saat tak bersama. Hingga lambat laun akhirnya saya pun memutuskan untuk tak menghubunginya duluan.

Kadang sedih rasanya, saat menyadari bahwa persahabatan kami terputus bukan serta merta karena ada masalah, tapi lebih karena kami mulai saling mengabaikan hingga perlahan kami mulai saling menjelma menjadi orang asing. Lebih pedih lagi saat kesadaran berikutnya hadir, bahwa setelah hubungan kami menjadi seperti ini, rasanya akan sulit untuk mengembalikannya kembali seperti dulu. Nyaris tak mungkin, ada sesuatu yang mengganjal yang tak bisa dijelaskan bagaimana dan kenapa bisa seperti itu. Satu-satunya yang tampak jelas hanyalah fakta bahwa kini kami sekedar "teman" dan bukan lagi "sahabat". 

Orang berikutnya adalah teman saya ketika SMA yang lucunya mulai menjadi sahabat saya setelah menikah. Sebut saja namanya Opi. Persahabatan kami terjalin saat saya dan suami mulai sering berkunjung ke rumahnya. Dan karena usia perkawinan kami tak terpaut jauh, bisa dibilang kami berangkat memulai bahtera rumah tangga kami dari nol bersama-sama. Saya tahu persis perjuangannya membangun rumah tangga dari awal, dari mulai menjadi pedagang ikan di pasar tradisional sampai akhirnya bisnisnya meningkat pesat dengan menjadi pemasok rumah makan-rumah makan besar di seputaran kota Bandung. Saat rumah tangga kami masih saja berkutat dengan gaji bulanan yang hanya cukup untuk bertahan hidup setiap bulan, Opi sudah mampu membeli rumah dan kendaraan dengan uang cash. 

Tapi seperti kebanyakan episode kehidupan yang melesat cepat juga menukik tajam, Opi juga tersandung masalah hingga kemudian bercerai dan terbelit hutang dalam jumlah yang tidak sedikit. Saya masih tetap menganggapnya sahabat bahkan saat hidup Opi tengah hancur-hancuran seperti ini. Tak juga lantas berpikiran negatif saat ia melarikan uang saya dan suami dalam jumlah yang cukup besar. Saya percaya, di luar kesalahannya dalam rumah tangga, Opi adalah sahabat baik yang tak akan mungkin mengkhianati saya dan suami.

Begitulah, hampir dua tahun sudah Opi menghilang tanpa kabar sampai pada suatu hari ia menelepon saya. Sedikit pun saya tak mengungkit masalah uang yang ia pinjam, bahkan saya masih mempersilakannya datang ke rumah kami, menawarinya tempat usaha dengan asumsi mungkin sekarang ia akan belajar dari kesalahan masa lalu dan mencoba memperbaiki diri. Saya memang cukup kaget saat tahu bahwa sekarang ia menjadi istri muda seorang pejabat di kejaksaan, tapi di luar fakta itu saya mencoba untuk tidak berubah sikap.

Hati saya mulai merasa terganggu saat ia meminjam uang lagi pada saya. Jumlahnya memang tak banyak, tapi jumlah yang sedikit namun sering ini rasanya mengganggu. Apalagi saat ia mulai menawarkan barang-barang pribadinya untuk dijual, saya merasa semakin tak nyaman. Akhirnya saya memilih untuk memutuskan hubungan saya dengannya. Saya sengaja tak membalas semua pesannya ataupun mengangkat teleponnya. dan lambat laun hati saya pun mulai terbiasa dengan ketidakhadirannya dalam hidup saya. Mungkin sikap saya ini salah, tapi saya tak bisa mengingkari ada sisi hati saya yang merasa ia memanfaatkan saya habis-habisan. 

Dan begitulah, sampai hari ini ternyata kebekuan hati saya tak juga kunjung mencair. Sama sekali tak tersentuh meski Opi mencoba menghubungi saya berkali-kali. Entahlah, mungkin suatu hari, saat saya sudah menjadi orang baik, saya akan mencoba menghubunginya duluan. Sementara untuk saat ini, biarkanlah seperti ini saja dahulu.

Dua kasus diatas sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk memberitahukan pada saya: kehilangan sahabat itu menyakitkan.  Atau lebih tepatnya, kehilangan orang yang pernah kita sayangi itu menyakitkan, entah itu sahabat, pacar, saudara. Maka untukmu yang saat ini masih memiliki sahabat atau orang yang dekat dengan kita, genggamlah erat tangannya. Jangan sekalipun mengabaikan karena bisa jadi satu pengabaian kecil akan menjadi awal mula dari keterasingan yang merusak hubungan selamanya. Dan saat itu terjadi akan sulit sekali untuk memperbaiki, untuk merekatkan kembali hubungan yang sudah renggang.



*saat menulis ini entah kenapa hati saya rasanya pedih sekali... 




Komentar

Postingan Populer