PERTANYAAN TAK BERUJUNG


Seorang teman uring-uringan pada saya sepulang menghadiri acara keluarga yang rutin diadakan setahun sekali. Apa pasal?, sudah bertahun-tahun ini ia selalu datang sendirian dan menjadi sasaran empuk pertanyaan sadis berupa samurai berwujud kata-kata: “Kapan menikah?”.
Awal-awal mendapat pertanyaan begitu, ia masih bisa tersenyum geli dan berkelit dengan alasan masih ingin mengejar karir, tapi tahun demi tahun, saat usianya merambat naik tanpa disadari, saat satu persatu teman-teman seangkatan meninggalkannya menuju gerbang bernama pernikahan, saat ia menjadi satu-satunya orang yang datang sendirian dalam setiap acara yg selayaknya dihadiri bersama pasangan, ia pun perlahan kehilangan kata-kata untuk berdalih.
Dan acara keluarga menjadi prioritas terakhir dalam jadwalnya bahkan kalau memungkinkan tak perlulah untuk datang, yah untuk apa, ungkapnya padaku, jika setiap acara selesai, ia selalu merasa depresi dan ingin bunuh diri. Ia bahagia dengan kesendiriannya, enjoy dan santai saja, tapi jika ditanya langsung seperti itu ditambah dengan tatapan menuduh dan segudang saran untuk tidak terlalu pilih-pilih atau blablabla lainnya, mau tak mau kepikiran juga. Dan pertanyaan sederhana yang hampir berupa basa basi ringan itu justru menimbulkan tsunami di benak si tertanya, menimbulkan sederet tanda tanya lain yang mau tak mau memporakporandakan kepercayaan dirinya, “iya ya, kenapa aku belum menemukan pasangan jiwaku, apa aku akan selamanya hidup kesepian, apa aku tak layak dicintai, apa aku, bla bla bla….”.
Begitulah, pertanyaan berupa dua kalimat sederhana itu ternyata lebih dari cukup untuk membuatnya tak bisa tidur nanti malam, menghantuinya dengan bayang-bayang mengerikan tentang orang yang menikmati masa tuanya tanpa keluarga yang benar-benar dibangun dengan tali pernikahan.
Dan akulah yang menjadi tempat penampungan terakhir keluh kesahnya.
Oke…aku sudah menikah, aku belum pernah merasakan bagaimana menjengkelkannya ditodong dengan pertanyaan seperti itu, karena aku menikah di usia sangat muda. Tak banyak kata-kata yang bisa kuucapkan sebagai penawar kegalauannya. Tapi jika masih boleh berargumen, ingin sekali aku bilang : “Apakah setelah menikah lantas semuanya beres begitu saja”. Orang yang rajin menanyakan pertanyaan itu pun belum tentu lebih bahagia hidupnya dari yang ditanya, siapa tahu ternyata ia menikahi seorang psikopat atau diselingkuhi pasangan hidupnya atau apalah sederet masalah rumah tangga lainnya. Lantas kenapa pertanyaan itu seolah menjadi salah satu pendorong bagi banyak orang untuk terburu-buru menikah, hingga akhirnya malah menyesali pilihan yang memang diambil karena mengejar tenggat usia –ideal-untuk-menikah?. Kenapa demi menghindari sebutan bujang lapuk, perawan tua atau tak laku-laku, lantas harus mempertaruhkan kebahagiaan seumur hidup dengan menikahi siapa saja.
Padahal saya yakin pertanyaan itu tak lantas akan berhenti, karena setelah menikah pasti akan muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya, “Kapan punya momongan?”, setelah lahir anak pertama akan muncul lagi pertanyaan :”kapan punya anak kedua?”, lalu jika si anak sudah tumbuh dewasa ada lagi pertanyaan: “kapan punya mantu?”, “Kapan punya cucu?”, meski saya yakin tak akan ada orang yang bertanya “Kapan mati?”.
Entahlah, pertanyaan-pertanyaan annoying ini kebanyakan hanya berupa basa basi dalam lingkup pergaulan kita, sebagian lebih karena tak ada lagi topik yang bisa dijadikan bahan perbincangan. Tapi betapa pertanyaan-pertanyaan sambil lalu ini ternyata bisa menjadi media bullying mental yang sangat ampuh, meskipun jika diambil sisi positifnya kita jadi tahu bahwa menikah, punya anak, punya cucu, adalah standar kesuksesan dalam hidup bagi banyak orang. Bukankah agak jarang juga kita ditanya :”Kapan naik gaji, kapan beli mobil baru, atau bahkan kapan ganti istri :-P”.
Perkara terganggu atau tidak terganggu bukan ditentukan oleh pertanyaan tersebut, tapi bagaimana pikiran kita me-manage hal itu dan tetap optimis bahwa jalan yang diberikan oleh Tuhan saat ini (sendirian atau berpasangan) adalah yang terbaik untuk kita.
Sebuah bantal melayang ke kepalaku, “Gampang bilang gitu kalau ngga ngerasain sendiri”, tuntutmu padaku.
Dan aku hanya bisa mengangkat bahu, “Kalau kamu ditanya lagi ‘Kapan menikah?’ seperti itu senyumlah dan jawab saja, ‘Masih belum dipercaya untuk dapat yang terbaik, mohon do’anya saja’ :-D”

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer