TENTANG SEBUAH PERJALANAN
Perjalanan…
Selalu saja
jadi bahan cerita yang menarik. Entah itu tentang kejadian yang terjadi selama
perjalanan, kawan seperjalanan, atau sekedar mencari-cari bahan kritik untuk
Menteri Perhubungan seputar moda transportasi yang digunakan selama perjalanan.
Dan menarik
untuk diamati, perjalanan yang dilakukan dengan moda transportasi yang nyaman,
cepat (dan berkonotasi mahal) memberikan cerita yang jauh lebih sedikit dari
perjalanan yang dilakukan dengan moda yang murah.
Teman-teman
yang menggunakan mobil pribadi, saya rasa lebih miskin cerita dari teman-teman
yang naik angkot atau bus DAMRI. Seperti halnya Awan Diga yang menulis banyak
Cerita-cerita Kereta selama ia naik kereta kaleng, tapi kemudian tak lagi
berceloteh panjang lebar saat menggunakan moda lain yang jauh lebih baik.
Manusia,
selamanya tentang manusia. Bukan tentang kesenangan dan kebahagiaan hidupnya.
Tapi lebih kepada derita dan perjuangannya. Dan bagi sebagian orang, untuk
melakukan perjalanan pun sudah menjadi perjuangan tersendiri.
Tak percaya?.
Cobalah untuk
kawan yang kebetulan berada pada posisi saya (tinggal di Bandung tapi bekerja
di Jakarta) untuk mengunjungi stasiun kereta Kiara Condong pukul 23.35 malam.
Menurut jadwal, tepat pada jam itu kereta ekonomi menuju Jakarta akan transit
di Stasiun Kiara Condong. Jangan heran jika kereta yang dimaksud baru tiba 2
jam kemudian, jangan heran juga jika setelah menunggu selama berjam-jam, kawan
tak bisa naik karena kereta sudah penuh sesak dalam pengertian denotatif. Tapi
jika kawan memaksa, masuk sajalah, tak usah bingung berpegangan dimana, karena
guncangan kereta sehebat apapun tak akan sanggup membuat kawan terjatuh. Kawan
akan ditahan oleh tubuh-tubuh yang berjajar rapat di sekelilingmu. Dan kawan harus
bertahan dalam kondisi itu selama 4 jam hingga tak berhingga untuk sampai di
stasiun Kota.
Dan herannya
adaaaaa…. saja yang sanggup menahan kondisi itu dengan tetap memilih naik
kereta penuh sesak itu...
Saya , jujur
saja tidak. Alih-alih kereta ekonomi, saya lebih memilih naik bus AC ekonomi
dari Cileunyi untuk menuju Jakarta. Memang cukup membosankan, mengingat
kebanyakan penumpang (jika saya nilai dari pakaian dan bahasa tubuhnya),
termasuk golongan menengah, tipikal pencari nafkah di ibukota, yang menghabiskan
seluruh waktunya untuk bekerja, hingga tak punya cukup energi untuk melakukan
hal-hal yang aneh.
Tapi kesan yang
saya berikan untuk moda ini kemudian hancur berantakan oleh seorang wanita muda
yang duduk persis di belakang saya. Sebut saja
wanita ini bernama Y, saat pertama mendengar suaranya yang sedang berceloteh di
belakang saya, saya menilai ia seorang peramah, ciri khas orang Priangan yang
tak segan membuka percakapan dengan teman seperjalanannya. Setengah jam
kemudian, dari logat dan topik yang ia pilih untuk dibicarakan, saya menilai ia
seorang yang berpendidikan rendah. Mungkin ia bahkan tak tamat SMP. Dan satu
jam kemudian, saya menilai ia mengalami gangguan jiwa.
Ia
bernyanyi-nyanyi cukup keras dengan suara yang tak bernada, menirukan lagu-lagu
dangdut terbaru yang ia dengar lewat earphone. Sayangnya ia tak sadar kalau
dirinya buta nada. Suara cemprengnya yang meliuk datar dan hanya kenal keras
dan pelan saja terasa begitu mengganggu di telinga saya, tapi ia tak peduli dan
terus bernyanyi. Nyanyiannya baru berhenti ketika pria di pinggirnya
mengajaknya ngobrol. Dan mengalirlah cerita itu.
Tentang ia
yang ternyata orang Garut, yang ternyata janda dua kali dengan dua anak dari
dua lelaki yang berbeda. Suami pertama
meninggal karena kecelakaan, dan suami kedua kabur dengan wanita lain. Kedua
anak menjadi tanggungannya, sedang ia sendiri tak punya ijazah cukup untuk
melamar kerja. Akhirnya ia menjadi pegawai di sebuah tempat billyard di
Jakarta. Dengan gaji tujuh ratus ribu rupiah per bulan, ia harus membayar sewa
kamar, biaya makan selama di Jakarta sekaligus juga mengirimkan biaya untuk
anaknya di kampung. Tujuh ratus ribu adalah jumlah yang absurd untuk mencukupi
semua kebutuhan, maka satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah menjual tubuhnya
untuk mencari tambahan.
“Saya tak
melakukannya tiap hari, hanya beberapa kali dalam seminggu itu pun dengan
orang-orang tertentu saja”, katanya, mungkin diucapkannya untuk mencari
pembenaran. Sambil sedikit mengeluh andai ada orang yang mau memperistrinya.
“Saya sengaja
pulang karena ingin bertemu anak-anak saya, sudah hampir satu bulan saya belum
menengok mereka. Kebetulan tadi siang saya menemani bos saya minum dan
karaoke-an, saya dapat tips lima ratus ribu, cukup untuk ongkos pulang pergi
dan bekal untuk kedua anak saya sekedarnya”.
Mendengar
penuturannya, saya meralat penilaian saya, ia tak sakit jiwa, hanya sedikit
mabuk tampaknya. Dan bukankah orang mabuk selalu bicara jujur.
Satu jam
kemudian, saya tiba di tempat tujuan saya. Saat berdiri untuk mengambil barang
bawaan di atas kursi, sedikit iseng saya melirik ke arahnya. Dan tampaklah ia
menggelosor di kursinya, kini tertidur begitu pulas, rambutnya yang dicat merah
menjuntai ke arah wajahnya yang tirus. Tak bisa dibilang cantik, tapi kaos ketat
yang menonjolkan bagian dadanya mungkin bisa menutupi kekurangan wajahnya.
Alih-alih
benci pada wanita ini yang mengaku terus terang dirinya adalah pelacur , saya
merasa iba sekali. Mungkin ia pelacur, mungkin ia pendosa di mata alim ulama,
tapi di mata saya ia hanyalah seorang ibu. Yang tak tahu lagi harus dengan cara
apa menafkahi anak-anaknya. Maka dikorbankannya dirinya, perasaannya, demi
beberapa lembar uang. Yang meski bukan segalanya, tapi dengan uanglah
anak-anaknya bisa melanjutkan hidup.
Ia berkisah
dengan nada yang datar, tak tersirat kegetiran sedikit pun. Tapi siapa yang
tahu jika jiwanya hancur lebur. Tak ada wanita yang bercita-cita jadi pelacur.
Meski pekerjaan ini sama tuanya dengan peradaban manusia. Ia contoh yang baik
dari ”dialektika” yang disebut Walter Benjamin: seorang pelacur—seorang pemilik
alat produksi dan sekaligus alat produksi itu sendiri, seorang penjaja
(Verkäuferin) dan barang yang dijajakan (Ware) dalam satu tubuh. Ia buruh
sekaligus bukan buruh.
Saat turun
dari bis, satu perasaan sesak menghimpit hati saya. Tak berhak saya menghujat,
apalagi menghina ia yang banyak dihujat sebagai seorang pendosa. Bukankah Allah
sendiri yang berjanji, bahwa Ia tak akan membiarkan hamba-Nya yang menghina
dosa saudaranya, mati sebelum diuji dengan dosa yang serupa.
Saya tak
menghina, tapi separuh hati saya bersyukur: Tuhan tak menempatkan saya dalam
kondisi yang mendorong wanita itu menjadi seperti itu.
Lihatlah,
bukankah jiwa ini begitu ringkih?.
Komentar
Posting Komentar