PEREMPUAN-PEREMPUAN TANGGUH
Seandainya semangat untuk menjalani hidup ini digambarkan sebagai sebuah
grafik sinusoidal yang memiliki puncak dan lembah, maka saat menulis ini, saya
berada pada titik terendah dari si lembah. Dan semangat hidup yang rendah, sangatlah
beririsan dengan kondisi putus asa.
Ya akhirnya saya harus mengakui saya putus asa, saya jenuh, saya bosan
dengan semua rutinitas dan beban hidup yang rasanya tak pernah habis.
Belakangan saya tau, kondisi ini menurut kamus bahasa kekinian disebut sebagai
kurang piknik =P. oke, saya memang kurang piknik. Dan bukan hanya itu, akhirnya
badan saya pun ambruk, saya sakit. Demam tinggi yang menyebabkan tulang-tulang
terasa ngilu, dan tak cukup sampai disitu, setelah demamnya hilang, sekujur
badan saya ditumbuhi bentol-bentol besar yang gatalnya minta ampun. Ditambah
pusing di kepala yang tak hilang-hilang, rasanya lengkap sudah penderitaan
saya.
Alhamdulillah…saya punya sepasukan bocah yang sudah bisa diandalkan untuk
sekedar cuci piring, beres-beres rumah
dan masak nasi ketika saya sakit. Urusan lauknya biarlah jadi ladang rezeki
warung sate sebelah rumah sampai saya sembuh nanti. Dan selama sakit, saya
mencoba untuk beristirahat total, sama sekali tak memikirkan pekerjaan rumah
atau pekerjaan di toko atau bahkan tesis saya.
“Umi istirahat saja, mudah-mudahan cepat sembuh”, kata anak saya yang
paling besar. Maka saya sepenuhnya mengandalkan mereka untuk semua urusan
rumah. Dan betapa kecewanya saya, saat kondisi tubuh saya mulai mendingan, saya
mendapati pakaian kotor yang harus dicuci sampai empat ember besar, remah-remah
yang tak tersapu dan menumpuk di balik meja, juga berkeresek-keresek sampah
yang rupanya sudah berhari-hari tak dibuang.
Sambil menghela nafas, mau tak mau saya pasrah jika hari pertama
kesembuhan saya harus dirayakan dengan kerja rodi di rumah. Tapi apalah daya,
baru juga menyentuh detergent telepon rumah berdering dan kedengaranlah suara
si Abi: “Mi, tolong ke toko, ada pesanan banyak”.
Lagi-lagi saya menghela nafas, bukan apa-apa, pekerjaan di toko jauuuh
lebih melelahkan dari pekerjaan di rumah. Tapi telepon yang ditutup buru-buru,
malah menegaskan bahwa memang di toko, si Abi sangat perlu bantuan, jadi saya
pun harus berangkat.
Sepanjang perjalanan hati saya gerimis. Merunut satu demi satu status
saya saat ini: istri sekaligus asisten pribadi seorang dosen, sekaligus ibu
dari tiga anak prabaligh dan dua bayi, sekaligus ibu rumah tangga tanpa
khadimat, sekaligus pedagang ayam kampung, sekaligus mahasiswa pascasarjana
sebuah institut teknologi di kota Bandung. Job desc saya rasanya terlalu
panjang untuk di-list satu-satu. Dua puluh empat jam sehari rasanya masih
kurang banyak. Begitu banyak pekerjaan yang tak tersentuh, bahkan tesis pun
masih terbengkalai, maka jangan protes jika pekarangan di belakang rumah saya
akhirnya menjelma hutan dalam pengertian konotatif maupun denotatif. (Toloong,
apa menurutmu saya sanggup membersihkan rumput dari tanah seluas hampir
sembilan ratus meter sendirian? T_T).
Apa lagi?, apa lagi yang dicari?, selalu begitu ungkapan
tetangga-tetangga. Entah, kadang saya pun tak bisa menjawab, tak bisa
mendeskripsikan alasan yang membuat Abinya anak-anak mengambil
kebijakan-kebijakan yang membuat kami harus menjalani hidup seperti ini: jam
kerja yang nyaris tak manusiawi, dan sama sekali tak ada libur kecuali Lebaran.
Dan pada satu titik, saya merasa jadi wanita yang paling malang di dunia. Ya,
saya bertransformasi begitu cepat, dari wanita yang menerima hidup sebagai
adanya menjadi wanita paling malang dan menderita.
Tapi Allah seolah menjawab duka dan pertanyaan-pertanyaan gugatan saya,
lewat si Mbak yang kebetulan juga datang ke toko saat saya sedang mengurus
ayam-ayam pesanan. Sebut saja Mbak Sum namanya, seorang wanita Jawa berusia 33
tahun. Ia datang membeli bebek siang itu.
“Satu ekor saja Mbak”, pesannya.
“Saya baru jualan pecel lelenya”, tambahnya lagi.
Sembari menunggu bebek pesanannya selesai, mengalirlah cerita di antara
kami berdua. Mbak Sum ternyata ibu dari dua orang anak. Suaminya satpam di
sebuah gereja, dan untuk menambah penghasilan, Mbak Sum berjualan pecel lele.
Kamu tau kan pecel lele?, itu loh warung-warung tenda di pinggir jalan dengan
roda dan spanduk besar bertuliskan PECEL LELE =D. Menu yang disajikan biasanya
selain lele, ayam dan bebek goreng juga soto ayam dan soto babat. Waktu buka
biasanya dari pukul lima sore sampai tengah malam.
Saya masih ber-ooh ooh datar ketika Mbak Sum cerita ia jualan pecel.
Telinga saya mulai meruncing tertarik ketika Mbak Sum menambahkan ia berjualan
sendirian sepanjang sore sampai malam itu. Dan kepo-lah saya:
“Yang pasang tenda sama dorong gerobak siapa Mbak?,
“Saya sendiri”
“Yang masak??”
“Saya sendiri juga”
“Yang belanja ke pasar???”
“Saya sendiri Mbak, semuanya saya sendiri, paling nanti anak saya bantuin
cuci piring”.
Dan sukseslah saya melongo sampai hampir lupa menutup mulut.
“Masya Allah… kalau pekerjaan rumah ada rewang mungkin ya Mbak?”.
“Ngga ada Mbak, pekerjaan rumah juga saya kerjain sendiri, tadi malem aja
saya nyuci sampai jam 1 pagi, terus di rumah saya buka usaha air isi ulang,
kalau ada yang pesan minta diantar ya saya anterin juga”.
Kaget saya tadi ternyata belum seberapa.
“Bisa Mbak?”, tanya saya bego. Sekilas meneliti ukuran tubuhnya yang sama
sekali tak terlihat seperti Xena The Warrior Princess, cenderung mungil malah,
tingginya hampir sama dengan saya yang juga bisa dibilang beke.
“Ya Alhamdulillah bisa-bisa aja Mbak”, jawabnya datar.
Maka semakin meningkatlah kadar kekepoan saya: “Mbak tidur berapa jam
sehari?, ngatur waktunya gimana?, ngga capek ya?, Mbak makan apa biar strong
begitu?, dst, dst”.
Semua jawaban Mbak Sum sukses semakin membuat saya ternganga. Makanannya
ternyata biasa saja. Ia tak pernah minum doping penambah hormon yang membuatnya
lantas bertransformasi jadi wonder woman, meski tidurnya hanya 2-3 jam sehari.
Kuat?, ya buktinya sampai hari ini masih hidup, dan bahagia.
Sejenak saya ternganga lagi, seperti ditampar kuat-kuat. Jika dibanding
Mbak Sum, aku mah apa atuh?, tapi mengapa si aku ini mengeluhnya panjang
sekali. Padahal saya masih bisa tidur hingga 7jam sehari, padahal saya masih
bisa internetan saat menunggu pembeli datang, padahal saya… padahal saya….
Ah ya, lagi-lagi disini saya temui betapa semua kata sifat sebenarnya
relatif. Menderita-tidak menderita; melelahkan-tidak melelahkan bukankah semua
tergantung sudut pandang masing-masing. Demi anak, dua kalimat sederhana itu
yang kemudian akhirnya saya tahu kunci dari ketangguhan fisik dan kerja keras
Mbak Sum. Saya yakin Mbak Sum juga pernah lelah, bagaimanapun juga ia hanya
manusia biasa, tapi motivasi untuk memberikan kehidupan yang lebih baik untuk
anak-anaknya membuat ia menafikan lelah dan menyuntikkan kekuatan yang tak
terduga.
“Satu-satunya hal yang membuat saya sedih itu Mbak, waktu anak saya
bilang gini: ‘Mama, ayo pulang, Eneng belum bikin PR’, saya sampai nangis Mbak,
waktu saya memang habis untuk jualan sampai-sampai saya ngga punya waktu untuk
nemenin anak saya bikin PR”, matanya berkabut saat mengatakan ini pada saya.
Dan semakin gerimislah hati saya. Ibu mana yang tak ingin terus menerus
menemani buah hatinya, tapi saat kondisi menuntut lain?. Adakah ruang untuk
menyalahkan?. Mbak Sum telah membuat pikiran saya penuh sesiangan itu, antara
takjub dan malu, antara kagum dan kelu. Merasa belum jadi siapa-siapa, merasa
belum cukup keras berjuang.
Sorenya saya membeli buah salak untuk anak-anak di rumah. Si ibu penjual
salak ini kebetulan berjualan di emperan toko milik Uwa saya, maka mengobrolah
kami berdua. “Ibu mah de, berangkat dari rumah Ibu di Sumedang jam 2 malem,
sampai disini jam 3, terus beres-beres dagangan, jualan di pasar subuh sampai
jam 8, langsung pindah kesini jualan lagi sampai sore”.
“Masya Allah Bu, kuatan pisan”, pikiran saya mulai tak enak, sejenak
merasa lagi-lagi saya sedang bertemu dengan wonder woman kedua dalam sehari
ini.
Dan ya, si ibu penjual salak ini pun memang jagoan juga. Jam terbang
jualannya hampir 15 jam sehari, sampai di rumah ia masih harus mengerjakan
sederet tetek bengek pekerjaan rumah, juga belanja barang untuk dijual esok
harinya. Karena hanya berjualan di kaki lima, maka barang yang tak habis dijual
harus dibawa pulang lagi. Begitu terus setiap hari.
Perempuan-perempuan tangguh.
Hari ini saya merasa begitu beruntung dipertemukan Allah dengan mereka.
Secara tidak langsung, mereka telah memberi saya pelajaran, untuk bersyukur,
untuk tak lagi mengeluh, untuk terus menerus memberi cinta tanpa pamrih bagi si
buah hati, untuk terus berjuang demi generasi yang lebih baik, untuk memahami
bahwa di atas langit masih ada langit. Tak ada ruang untuk merasa terpuruk,
separah apaun kondisi kita saat ini pasti ada yang jauh lebih parah. Seperti
halnya tak ada ruang untuk sombong, sehebat apapun kita merasa diri kita saat
ini, pasti ada yang jauh lebih hebat.
Sepenggal kalimat Mbak Sum tiba-tiba saja terasa bergaung di telinga
saya: “Ah, saya mah belum seberapa Mbak, saya yakin di luar sana masih banyak
Ibu-ibu yang lain yang jauh lebih bekerja keras daripada saya”.
Hujan di hati saya tak lagi gerimis, tapi kini semakin deras.
Wahai Allah, berilah kekuatan untuk semua ibu di seluruh dunia.
*gambar saya copy dari: http://www.kompasiana.com/cipto-wardoyo/wanita-tangguh_550dcd06813311ae77b1e76f
Komentar
Posting Komentar