AKAR, yang Terbaik dari Seluruh Serial Supernova






Engkaulah gulita yang memupuskan segala batasan dan alasan
Engkaulah penunjuk jalan menuju palung kekosongan dalam samudra terkelam
Engkaulah sayap tanpa tepi yang membentang menuju tempat tak bernama namun terasa ada
Ajarkan aku
Melebur dalam gelap tanpa harus lenyap
Merengkuh rasa takut tanpa perlu surut
Bangun dari ilusi namun tak memilih pergi
Tunggu aku
Yang hanya selangkah dari bibir jurangmu


Saya sudah kadung jatuh cinta dengan Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, hingga ketika Dee meluncurkan buku selanjutnya dari serial Supernova yang berjudul Akar, saya termasuk salah satu yang ikut berebut di toko buku. Dan saya tidak kecewa, karena Akar bahkan lebih baik dari ekspektasi saya. Saya sampai berani menyimpulkan bahwa dari keseluruhan serial Supernova, Akar adalah buku yang terbaik.

Tak seperti KPBJ, sama sekali tak ada puisi di dalam buku ini selain di halaman pembuka. Tetapi pilihan  diksinya  yang menawan, dan jalan cerita yang tak biasa membuat saya merasa ikut hanyut dalam setiap lembarannya. Membuat saya jatuh cinta pada sosok Bodhi, tokoh utama pada buku ini: seorang pemuda yatim piatu berusia 24 tahun, dengan sederet anomali, diantaranya: mampu melihat makhluk gaib dan memiliki sederet tonjolan serupa tulang belakang yang tumbuh di kepala botaknya.

Cerita dibuka dengan Gio yang kehilangan Diva, dan ternyata bagian inilah yang menjadi benang merah antara seluruh serial Supernova. Adapun kisah selanjutnya yang menceritakan perjalanan hidup seorang Bodhi, tampak sama sekali tak bersinggungan dengan kisah pada KPBJ. Belakangan, setelah membaca serial-serial Supernova selanjutnya yaitu Petir, Partikel, dan Gelombang, saya menemukan bahwa setiap serial menceritakan kisah satu tokoh utama sebelum akhirnya semua cerita tokoh tersebut bertemu pada serial terakhir yang berjudul Intelegensi Embun Pagi.

Sejak bayi Bodhi memang istimewa, ditemukan di bawah pohon asam depan sebuah wihara, pohon asam itu langsung hangus tersambar petir begitu si bayi kecil diambil. Di usia 11 tahun Bodhi mampu melihat benda-benda mikron, dan mampu bertransformasi menjadi binatang yang ia tatap. Anehnya, kelebihan-kelebihan itu dianggap sebagai kutukan, hingga Guru Liong, kepala wihara sekaligus sosok pengganti ayah untuk Bodhi mengajarkannya ribuan mantra untuk mensucikan diri. Mantra-mantra itu mental, hingga pada satu titik Bodhi akhirnya memutuskan untuk keluar dari wihara, melakukan perjalanan untuk mencari apa yang dimaksud dengan "kesejatian".

Dimulailah perjalanan Bodhi backpacking keliling Asia. Dari mulai Bandung, Surabaya hingga ke Medan, lanjut ke Thailand, Laos, dan Kamboja. Dalam perjalanannya Bodhi bertemu banyak orang, dari mulai Ompung Berlin yang membantunya membuat sejumlah dokumen palsu, Trintan Sanders sesama backpacker yang kemudian diberinya tasbih Guru Liong, Kell  pria tampan yang kemudian mengajari Bodhi segala seluk beluk tentang tato, hingga Star wanita misterius yang menjadi konsumen tatonya. Dua nama terakhir belakangan memiliki peran penting dalam kisah terakhir Supernova.

Di luar cerita tentang Bodhi, saya mendapat banyak sekali informasi dari buku ini. Mulai informasi mengenai dunia per-backpacker-an hingga informasi mengenai tato dan komunitas punk. Semua itu dikemas dengan rangkaian bahasa yang "nyastra" dan enak dibaca, selipan humor yang menggelitik dan pilihan diksi yang tak biasa.

Dengan sederhana dan tak banyak tanya, bertahun-tahun Gio mencintai satu orang yang sama. Diarunginya perasaan itu tanpa lelah seperti menaklukkan jeram-jeram. Namun orang yang dicintainya hadir serupa kabut. Hubungan yang tak pernah beranjak ke mana-mana. Ada dan tiada seperti kabut malam yang tak tergenggam. Dan entah kenapa, Gio selalu memilih untuk tetap memandangi. Merapuh dengan sukarela.
Hal.5

Apa kabar, teman. Lama tidak berjumpa. Akankah kau mendekapku balik, atau mendorongku pergi?
Hal.187

Dan kepada sang Air, anasir yang memisahkan kami berdua, aku berdoa. Aku kecewa. Kau pisahkan kami. Kau buat jarak seolah kami ini dua individu berbeda.
Hal.190-191

Not terakhir tadi bergantung sepi. Tak ada yang menyambung. Mesin di tanganku berhenti berderap. Kesunyian rupanya sudah mengendap-endap naik, mencuri sahabatku dalam selendang niskala yang ujungnya tak bisa ditarik balik. Sahabatku digondol kemerduan kekal yang hadir tanpa lantun. Kemerduan yang belum saatnya kuleburi, tapi dia sudah. Sekarang, dia sudah.
Hal.194


Untuk saya Akar termasuk buku bagus yang tak bisa disimpan sebelum lembar terakhirnya selesai dibaca. Bagaimana menurutmu?




       

Komentar

Postingan Populer