Diary Penuh Namanya

Beres-beres  rumah. Menyapu semua debu, mensortir barang dan buku-buku lama.

Ada yang tertinggal di sela tumpukan barang-barang tak penting itu: diary tebal bersampul coklat, terisi penuh dengan tulisan tanganku, sampai halamannya yang terakhir. Peninggalan masa remaja yang tak bisa dibilang gilang gemilang, tapi membacanya serasa membuka lagi lembaran-lembaran kenangan, mengingatkan episode-episode hidup yang karena waktu, terasa sudah memudar ruhnya.

Ada banyak kisah disana, kejadian remeh dan sepele, hal-hal kecil yang banyak terjadi pada kehidupan seorang anak SMA. Memasang target juara umum, menginginkan sebuah gaun yang ternyata terlalu mahal, berseteru dengan teman, kenangan saat camping dan...jatuh cinta.

Tanpa kusadari ternyata hanya ada satu nama yang menjadi benang merah dalam diary itu, nama yang  entah kenapa mengisi hampir setiap lembarannya. Bahkan dalam cerita kehujanan sepulang sekolah pun bisa-bisanya nama itu ada disana.

Nama kamu, ya, hanya nama kamu.

Kamu, kakak kelas ketika SD, satu sekolah ketika SMP, dan hampir menjadi seorang kekasih ketika SMA. Ajaib, bagaimana aku bisa mencintai kamu begitu lama, menempuh jarak hingga berbilang tahun, sementara setiap berjumpa menatap matamu saja aku tak pernah sanggup. Hanya cinta yang bisu, tapi bukankah itu yang membuat indah cinta pertama. Saat cinta hanyalah cinta, tanpa pretensi dan dugaan apapun di dalamnya.

Mencintai kamu, entah kenapa membuatku ingin jadi perempuan baik-baik, membuatku ingin jadi perempuan pintar, atau setidaknya jadi seseorang yang bisa dibanggakan, seperti energi positif saat menatap pelangi sehabis hujan, atau menghirup tanah yang basah saat hujan pertama. Cinta monyet anak SD yang bertransformasi menjadi cinta yang memanusiakan setelah bertahun terlampaui.

Tapi entah kenapa alam seolah berkomplot untuk menjauhkanku darimu. Kamu tahu?, aku menunggumu berjam-jam siang itu, di Agen Bus Budiman Ciawi sementara kamu tak pernah datang hingga bis terakhir menjemputku. Sementara itu akhirnya aku pun tahu, seharian kamu menungguku di tempat berbeda dan tentu saja aku pun tak pernah datang untukmu. Sayang saat itu belum ada HP.

Dari sekian kali janji bertemu yang tak pernah jadi, kamu hanya bisa bilang: "Mungkin bukan jodoh". Satu kalimat sederhana  yang membuat seluruh persepsiku tentangmu hancur berantakan. Kamu, yang selalu kuanggap mewakili semua hal tentang impian dan keberanian mewujudkannya, ternyata hanya seorang pria yang dengan mudahnya menyerah pada takdir. Padahal aku ingin kamu berkata, "Jika Tuhan menuliskan kita memang bukan jodoh, aku akan berusaha agar Tuhan berkenan menghapus kata 'bukan' itu". Takdir bisa dirubah, tahukah kamu?, dan aku percaya itu dengan segenap imanku.

Maka bagaimana bisa aku mencintai orang selemah itu, bagaimana bisa aku menggantungkan harapan pada orang yang bahkan tak mau berjuang untuk impiannya sendiri, atau….
Aku yang tak layak untuk sekedar jadi impian bagimu?.

Dan dengan praduga aku-tak-layak-jadi-impian-bagimu, yang semakin dikuatkan dengan kehadiran wanita lain disisimu, aku belajar untuk merelakanmu.

Menenggelamkan diri dalam tumpukan buku-buku pelajaran, melarikan semua duka dan putus asa dalam deretan rumus dan perhitungan. Dan dengan getir mengakui, bahwa semakin keras upayaku menafikanmu, semakin deras pula rindu itu menyergapku. Sialnya hanya aku yang merasakan kegetiran itu sendirian. Kamu tahu  kenangan bisa membunuh  pelan-pelan?, karena sangat menyakitkan ketika aku ingat semuanya, aku  ingat setiap baris puisi yang kamu buat untukku, aku ingat rasa coklat yang kamu beri di hari ulang tahunku, aku ingat bunyi derai hujan saat kita menunggu bis berdua, aku ingat, aku ingat semua potongan kenanganku bersamamu.

Dan aku ingat bahwa tak satupun janji yang pernah kamu penuhi. Kenyataan yang selama ini selalu kusangkal tapi kini terlalu nyata untuk kuabaikan.

Dan buku menjadi benteng pertahanan terakhirku. Pelarianku yang gila pada buku pelajaran ternyata membuatku masuk ITB, dan entah kenapa setelah terluka olehmu Tuhan membuka mataku pada cinta lain yang selalu menungguku dan selalu kuabaikan selama lima tahunku dalam bayang-bayangmu.

Meski sulit dijalani, perjuanganku menata hati sepeninggalmu ternyata berbuah manis. Aku belajar banyak hal dan mendapatkan banyak  hal juga dari setiap luka yang kamu goreskan.

Karena kamu, jiwaku utuh kini.  Aku punya pekerjaan yang baik dan kusukai, juga cinta yang selalu kucari, yang kupikir  ada padamu  dan ternyata malah kutemukan pada diri orang yang selalu kuabaikan. Ia,  pria disamping ku kini, yang mencintaiku seperti adanya aku, yang kepadanya aku menyandarkan banyak hal, yang membuatku merasakan seperti apa mencintai tanpa kekhawatiran cinta itu tak berbalas.

Dan jika Tuhan memperkenankan kita untuk bertemu lagi di masa depan, aku ingin mengucapkan terima kasih dari hati terdalam padamu. Karena aku sampai di titik ini dalam hidupku, sebagiannya karena kamu. Terima kasih…

Dan diary coklat itu kusatukan dengan tumpukan barang-barang buangan. Terlalu banyak yang harus kusyukuri saat ini, sampai tak tersisa waktu untuk menoleh ke belakang.



*Untuk D, kuharap kamu mendapat semua hal terbaik.

Komentar

Postingan Populer