TAK ADA INSINYUR SIPIL DI SURGA

“Suatu hari, penduduk neraka meminta rekonsiliasi dengan penduduk surga.  Hal ini disebabkan penduduk neraka sudah tak tahan terus menerus menjalani siksaan. Bukan berarti mereka tak menerima ketetapan Tuhan untuk menjalani hukuman atas dosa-dosa mereka selama di dunia, tapi ada saat-saat dimana mereka ingin berhenti dan beristirahat sejenak dari hukuman.

Memanfaatkan hubungan kekerabatan dan karena kebaikan hati penduduk surga, akhirnya disepakatilah untuk membuat sebuah jembatan yang menghubungkan surga dengan neraka.  Teknisnya, masing-masing pihak bersepakat untuk membangun jembatan yang nantinya akan bertemu di titik tengah, di perbatasan antara surga dan neraka.

Singkat cerita dimulailah pembangunan jembatan tersebut. Selang beberapa waktu, penduduk neraka sudah selesai membangun jembatan bagian mereka, tapi lama ditunggu entah kenapa jembatan bagian penduduk surga tak juga selesai.  Akhirnya penduduk neraka menghubungi lagi penduduk surga untuk meminta konfirmasi. Jawaban yang didapat sungguh di luar dugaan, penduduk surga tak bisa membangun jembatan karena tak ada orang teknik sipil di surga. Semua orang teknik sipil ternyata tempatnya di neraka.”

Mendengar anekdot yang disampaikan salah satu dosen saat kuliah ini, saya hanya bisa mesem-mesem sendiri.  Bingung sebenarnya harus memberikan komentar atau bereaksi seperti apa. Tapi jika saya bisa tarik kesimpulan, anekdot ini lahir bukan tanpa latar belakang. Ada beragam premis sebelum akhirnya lahir kesimpulan yang berujung pada satu guyonan.  Panjangnya mata rantai dalam sebuah proyek konstruksi yang memungkinkan timbulnya peluang untuk berbuat curang mungkin adalah salah satu diantaranya. Atau bisa jadi faktor keamanan yang sangat lentur dalam penentuan spesifikasi teknis bangunan konstruksi memungkinkan adanya modifikasi-modifikasi yang berujung pada mark-up biaya. Atau sifat unik dari setiap proyek yang menyebabkan tindakan pengawasan tak bisa diseragamkan. Atau bisa juga…. Yah, daftar dugaan yang akan semakin panjang jika ditulis satu persatu.
Tapi jika berbicara tentang peluang untuk berbuat curang, saya yakin tak hanya dalam proyek konstruksi saja kemungkinan itu tersedia. Yang dekat dalam kehidupan sehari-hari saja, misal dalam perdagangan sembako atau sayur mayur sekalipun, saya yakin, juga memiliki celah untuk sebuah kecurangan, entah itu dengan mengurangi timbangan atau menukar barang yang sudah disepakati. Semua untuk laba yang lebih besar. Lalu kenapa hanya insinyur sipil yang masuk neraka?.
Lama saya renungkan pertanyaan ini. Membuat saya iseng membaca ulang sejarah konstruksi di dunia. Tercatat dalam sejarah, Hammurabi menerapkan hukuman mati untuk kegagalan bangunan yang menyebabkan kematian. Sementara itu dalam catatan yang lain, runtuhnya sebuah jembatan yang terjadi di awal-awal masa layannya menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa. Dan tak terhitung kalkulus berdarah yang timbul karena runtuhnya sebuah gedung.
Bukan rahasia jika suatu proyek konstruksi melibatkan uang dalam jumlah yang sangat besar, tapi setiap kegagalan bangunan ternyata tak hanya menyebabkan kerugian secara materil. Ada kerugian lain yang lebih besar: hilangnya sebuah nyawa yang bisa jadi mata rantai untuk munculnya dampak-dampak negatif  lainnya. Kematian seorang tulang punggung keluarga akan menyusahkan kehidupan satu keluarga, sementara kematian seorang anak akan jadi trauma berkepanjangan untuk orang tuanya. Bukan tentang kematian itu sendiri, tapi tentang bagaimana dampaknya terhadap orang-orang sekitar yang ditinggalkan si mati.
Dan akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan: kecurangan seorang insinyur sipil dalam suatu proyek konstruksi yang menyebabkan kegagalan bangunan akan berdampak fatal terhadap banyak orang. Mungkin karena itulah, tanggung jawab yang diemban sedemikian besar sehingga hukuman yang dijatuhkan untuk kesalahan yang terjadi pun sangatlah berat. Kecurangan yang dilakukan seorang pedagang eceran mungkin merugikan, tapi masih dalam skala kecil, dalam hal ini hanya individu yang membeli saja yang menderita kerugian. Sementara itu, kecurangan yang dilakukan seorang insinyur sipil dalam sebuah proyek konstruksi akan berdampak lebih buruk karena melibatkan banyak pihak. Belum terhitung jika muncul korban jiwa yang tak sedikit.
Dan saat menulis ini, lama saya renungkan lagi, apakah saya ini kekurangan pekerjaan, kenapa sebuah anekdot saja bisa membuat saya berpikir lama dan menulis ocehan yang begitu panjang lebar.
Tiba-tiba saya teringat pada tesis yang bahkan belum juga saya sentuh. Seketika saya terkena serangan panik. Bagaimana bisa, tinjauan pustaka analisis keandalan bangunan malah jadi ocehan tentang anekdot yang beredar di lingkungan insinyur sipil.
*aaaaaaaa………..(nangis bombay T__T)
ingin wisudaaaaaa……


Komentar

Postingan Populer