Gelas Kaca


Bukan karena tak sayang, jika Nan (bukan nama sebenarnya), akhirnya memutuskan untuk menitipkan putra semata wayangnya yang baru kelas 4 SD pada ibunya. Tapi apalah daya, Nan hanya seorang janda tanpa penghasilan setelah bercerai 10 tahun yang lalu. Hingga ketika ada seorang duda beranak empat datang melamar, Nan menyambutnya. Sayangnya, kelakuan putra Nan yang produk “broken home”, membuat suami baru Nan jengah dan jengkel. Hingga Nan akhirnya diultimatum, tetap menjadi istrinya tapi sang anak tak boleh dibawa.

Apa boleh buat, malu terus menerus jadi beban keluarga, membuat Nan menyanggupi persyaratan itu. Demi sang suami, ia mengeraskan hatinya, mengurus empat anak tiri, dan menelantarkan putra sendiri. Nan sudah lelah tanpa penghasilan, tanpa tempat bersandar. Sebagai kompensasi, ia menyisihkan uang pemberian suaminya untuk diberikan pada sang anak. Sayang, jumlahnya jauh dari cukup hingga tetap saja, sang anak jadi beban si nenek. Keadaan lebih parah karena putranya yang kecewa merasa ditelantarkan dan kelakuannya pun semakin liar dan tak terkendali.

Sementara itu Nan yang lain datang padaku di suatu pagi sambil tersedu. Ditunjukkannya mata kiri yang lebam dan jari kaki yang tampak dibalut kain perban seadanya. Warna merahnya masih tampak, memberi gambaran tentang seberapa dalam luka dibaliknya. Sambil terisak, ia bercerita, suaminya marah-marah tadi malam, dan semua luka itu adalah jejak kemarahan suaminyaseketika hati ini bergolak, menyadari bahwa ini bukan lagi marah seorang suami, tapi penganiayaan. Dengan lantang saya memberinya satu solusi mutlak: lapor polisi, lalu minta cerai. Tapi betapa kagetnya saya karena perempuan itu malah terisak semakin keras dan menggeleng. “Anak-anak saya bagaimana?”.

Dan saya tersadar, Nan yang ini hanya seorang perempuan yang SD pun tak tamat, tak punya keahlian apa-apa. Suaminya yang tukang becak adalah pencari nafkah utama dalam keluarganya. Nan sudah tak punya ibu bapa. Saudara-saudaranya pun sudah lelah memperjuangkan hidup masing-masing, jangankan menolong Nan. Jika Nan meminta cerai, ia tak punya lagi bahkan sekedar tempat bernaung. Dan empat anaknya pun jadi masalah tersendiri. Maka Nan, menguatkan hatinya sendiri, kembali pada satu-satunya orang yang melindunginya sekaligus menyiksanya lahir batin.

.

Kedua kisah di atas bukan cerita sinetron, atau pun kisah fiktif yang saya karang- karang sendiri. Mereka ada, mereka nyata. Kisah-kisah pedih para perempuan yang termarjinalkan oleh sebuah lembaga bernama perkawinan. Sempat terpikir cerita-cerita seperti itu hanya dialami oleh kalangan bawah. Ternyata saya salah, karena saya kenal beberapa wanita yang juga terabaikan. Mereka adalah istri rekan-rekan suami saya di kantor. Dosen-dosen senior yang berpoligami. Keluarga mereka berada, tapi tetap saja sang istri tak mampu menuntut apa-apa ketika suaminya lebih mengutamakan istri muda. Ironis, karena para suami itu adalah dosen sebuah Perguruan Tinggi Islam yang saya yakin betul, tahu dan mengerti aturan berpoligami.

Tolong, jangan salah sangka dulu.

Saya bukan feminis. Saya tidak benci pria ataupun perkawinan itu sendiri. Saya juga tidak ingin mempermasalahkan kesetaraan gender ataupun emansipasi wanita. Saya hanya merasa terganggu dengan fakta di sekeliling saya, tentang para wanita yang tertindas, terabaikan dan terampas haknya oleh suaminya sendiri. Dan mereka tak bisa memerdekakan diri sendiri hanya karena satu alasan klasik: tak punya penghasilan sendiri.

Maka salahkah saya, jika berpikir setiap wanita itu harus mampu mencari uang sendiri. Karena dengan punya penghasilan sendiri, ia akan lebih mandiri dan tak akan menggantungkan hidupnya pada suami yang juga hanya manusia biasa, bisa berubah hatinya, bisa sakit dan dipisahkan oleh ajal.

Saya kenal beberapa orang yang mencibir karena saya ingin terus kuliah. Dengan alasan perempuan toh hanya akan berakhir di dapur-dapur juga, mereka berpendapat perempuan tak usah sekolah tinggi-tinggi. Sekilas pendapat itu ada benarnya. Tapi apakah mereka bisa menjamin setiap perempuan itu bisa menikah dengan laki-laki baik yang akan menjaganya seumur hidup. Keinginan setiap wanita memang begitu, tapi bukankah banyak kasus dimana suami justru malah jadi penyiksa paling kejam untuk makhluk lemah itu.

Tapi jika perempuan itu berpendidikan, ia akan lebih mampu melindungi dirinya sendiri, meneruskan kehidupan dengan normal, jika terpaksa tanpa suaminya sekalipun. Ia tak perlu jadi wanita lemah yang menggantungkan nasib sepenuhnya dan menyerahkan hitam putih hidupnya pada laki-laki.

Bagaimanapun juga, saya percaya, perempuan yang terpelajar akan lebih terhormat di mata suaminya.
Bukankah jadi perempuan itu sulit, mereka harus mempersembahkan kesetiaan tertinggi untuk suami dan keluarga, mereka dicerca ketika memilih berkarir, tetapi apa jaminan untuk mereka.

Adakah uang pensiun untuk para Ibu Rumah Tangga yang “dipecat” saat suaminya menemukan wanita lain yang lebih baik, seringnya mereka dipulangkan hanya bawa badan dan anak saja. Mending jika mereka masih punya orang tua yang akan melindungi, jika tidak...
Adakah hukum yang melindungi para janda yang tak mampu, sehingga mereka tak terdorong melakukan hal-hal negatif untuk mencari suami yang akan menafkahi, tak peduli dengan cara kotor sekalipun.

Adakah hukum yang menjamin para istri akan aman seumur hidupnya, saat mereka mengorbankan waktu, potensi dan cita-citanya untuk suami dan keluarganya.
Mungkin di negara ini belum...

Disadari atau tidak, wanita tetaplah masih jadi warga negara kelas dua. Mereka harus jadi istri dan ibu yang baik, dikecam ketika bekerja di luar, tapi tak ada jaminan untuknya sebagai ibu dan istri.
Saya jadi teringat cerita teman saya yang sekolah di Iran. Di negerinya Ahmadinejad ini, sedikit sekali ditemukan kasus poligami. Bukan karena dilarang oleh negara, tapi karena mahalnya mahar yang harus dibayar oleh seorang pria saat menikah (besar mahar rata-rata 500 juta jika dikonversi ke rupiah). Hingga tak jarang mahar itu menjadi utang seumur hidup suami pada istrinya. Jadi untuk menikahi satu orang wanita saja mahalnya minta ampun, bagaimana ingin menambah istri.

Teman saya ini pernah mencandai teman Irannya dengan mengatakan kebudayaan Iran mempersulit pernikahan yang seharusnya dimudahkan. Dengan enteng, si teman Iran ini menjawab, sistem pernikahan di negerinya melindungi dan menjamin hak wanita hingga jika bercerai sekalipun, si wanita masih punya bekal. Sementara sistem di Indonesia memang mempermudah pernikahan tapi membuat wanita tanpa jaminan apa-apa, jika terjadi perceraian.
Dan saya seolah diberi jawaban pada kerinduan-kerinduan saya.

Saya rindu pada aturan hukum yang mampu membuat setiap wanita menjadi sebaik-baik ibu tanpa harus mengkhawatirkan masa depannya sebagai istri dan ibu. Tapi saya juga rindu pada sistem yang mampu membuat setiap wanita itu “terjaga”, sehingga ia benar-benar layak untuk mahar yang sedemikian mahal dari suaminya.
Tapi sebelum kerinduan itu mencapai muaranya, saya tetap pada kesimpulan semula, setaat apa pun seorang istri pada suaminya ia tetap harus jadi perempuan mandiri.


Bandung, 26 Mei 2009

Salam

NNF

Komentar

Postingan Populer