RONGGENG DUKUH PARUK, Trilogi dari Ahmad Tohari
Akhirnya
buku ini tamat juga dibaca dengan segenap perasaan. Meski getir dan hanya getir
yang terasa saat kututup lembaran terakhirnya. Ada detil sebuah desa yang
begitu melarat di sudut kepalaku, efek dari penggambaran sang pengarang yang
dengan sempurna meninggalkan kesan seperti-membaca-sebuah-lukisan di bukunya.
Ada juga perih yang entah kenapa hadir saat terpikir olehku, kadang takdir
mempermainkan seseorang dengan begitu rupa.
Tapi
salah siapa, jika Srintil kecil yang baru sebelas tahun, seorang gadis yatim
piatu miskin tiba-tiba saja diklaim telah dihinggapi indang ronggeng. Ia
menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan tradisi, karena ronggeng dalam
perspektif Dukuh Paruk, adalah sebuah dunia yang ada karena suatu alasan, jagat
ronggeng adalah jagat perempuan dalam semesta hubungan lelaki dan perempuan.
Mengabaikan nilai-nilai normatif, karena sebaliknya, menjadi ronggeng adalah
sebuah kehormatan. Penerus tradisi warisan Ki Secamenggala, leluhur semua warga
Dukuh Paruk yang telah menjelma menjadi dewa, pusat dunia kecil mereka, desa
terpencil yang luar biasa miskin, terbelakang, dan naif. Dan ronggeng adalah
satu-satunya hal yang membuat eksistensi mereka diakui di dunia luar.
Buku
ini bercerita dalam kacamata Rasus, pria muda teman sepermainan Srintil yang
juga sama-sama yatim piatu. Tak seperti warga Dukuh Paruk lain yang bangga
dengan bakat meronggeng dalam diri Srintil, Rasus justru sebaliknya, ia ingin
Srintil tak pernah menjadi ronggeng. Kehilangan ibu di usia belia membuatnya
mencitrakan sosok ibu dalam diri Srintil. Dan ia tak terima jika citra ibunya
ternyata bisa tidur dengan siapa saja yang sanggup membayar. Tapi Srintil kecil
tampaknya senang menjadi ronggeng, ia menerima semua perhatian yang memang
wajar ia terima karena kecantikannya. Meskipun demikian, pada malam bukak
klambu, semacam pelelangan keperawanan sang ronggeng, Srintil dengan suka
rela menyerahkan keperawanannya kepada Rasus. Tubuh seorang ronggeng adalah
milik semua orang, tetapi jika seorang ronggeng boleh jatuh cinta, sudah jelas
kepada siapa hati Srintil diberikan. Meski demikian Rasus tetap merasa Dukuh
Paruk merenggut orang yang dicintainya, karena setelah malam bukak klambu
dilakukan, Srintil resmi menjadi ronggeng yang boleh menjadi gendak
dengan menarik bayaran. Dan setelah malam itu, Rasus meninggalkan dukuhnya
dengan hati yang mendendam.
Alkisah
kemudian, setelah perjalanan yang panjang Rasus menjadi tentara, ia bahkan
sempat pulang ke kampungnya untuk menumpas segerombolan perampok, sempat tidur
dengan Srintil (tanpa dipungut bayaran tentunya), bahkan Srintil sempat
mengutarakan kesediaannya untuk dinikahi Rasus, tapi Rasus sadar benar, seorang
ronggeng tak mungkin menikah, maka ditinggalkannya Srintil dengan hati yang
berkeping-keping.
Proses
kelahiran Srintil menjadi ronggeng diceritakan pada buku pertama trilogi ini,
Surat Buat Emak, dan buku yang kedua: Lintang Kemukus Dini Hari, memotret
masa-masa suram Indonesia saat terjadi kerusuhan politik tahun 1965. Seorang
komunis bernama Bakar muncul di Dukuh Paruk. Citranya yang sangat tipikal
komunis digambarkan dengan lugas oleh Ahmad Tohari: dingin, tanpa gairah
syahwat, sangat menentang klenik dan kepalanya hanya diisi dengan teori merebut
kembali hak rakyat dan meruntuhkan kaum borjuis. Dengan segala keterbelakangannya,
warga Dukuh Paruk tak menyadari bahwa Bakar telah membuat pertunjukan ronggeng
Srintil menjadi alat propaganda bagi partai komunis yang diusungnya.
Dan
ketika partai komunis tersebut gagal mengambil alih tampuk kekuasaan, Dukuh
Paruk yang sudah dicap sebagai antek mereka harus menerima hukuman atas
ketidaktahuannya. Lintang kemukus adalah musibah. Desa tersebut dibakar dengan
Srintil dan beberapa orang lainnya ditangkap dan dipenjarakan tanpa ada proses
pengadilan yang jelas. Ahmad Tohari seolah membenarkan sejarah, bahwa benar di
Indonesia telah terjadi pembantaian atas orang-orang yang dituduh PKI, ataupun
yang memiliki keterkaitan sekecil apapun dengan PKI.
Saat
teman-temannya yang lain dipulangkan, Srintil malah ditahan lebih lama, hampir
dua tahun ia menjadi tahanan. Satu-satunya alasan paling logis kenapa ia lebih
lama menjadi tahanan adalah agar sang mayor dan pajabat tentara setempat bebas
membawanya kapan saja. Dan saat kembali ke dukuhnya, Srintil sudah kadung
menahan duka jiwa yang berlarat-larat, ia memutuskan berhenti menari, bahkan
berhenti menjadi gendak bagi siapa pun. Ia hanya ingin menikah dan punya anak,
meski sadar Nyai Kartareja dukun ronggengnya telah memijit rahimnya hingga
kering meranggas, ia tak mungkin punya anak.
Dan
penantiannya tak kunjung bersambut, satu-satunya calon suami yang dinantikannya
bahkan hanya memberi kegamangan. Rasus, yang kini telah diangkat menjadi
Prajurit Dua sebenarnya dilanda kebingungan yang sama. Ia seorang tentara,
menikahi seorang bekas tahanan yang dicap komunis sama dengan ia harus siap
meninggalkan pekerjaannya, mendapat cemoohan bahkan yang lebih buruk juga
sama-sama mendapat cap merah. Lagi-lagi Rasus memilih melarikan diri keluar
dari Dukuh Paruk.
Tinggallah
lagi-lagi Srintil sendirian, menata hati dan harga dirinya, menyadari bahwa
seorang bekas tahanan PKI ternyata tak layak mengangkat muka.
Dalam
buku yang ketiga, Jantera Bianglala, Ahmad Tohari menggambarkan bagaimana efek
dari kerusuhan politis itu terhadap psikologis sebuah desa. Desa yang sudah
terpencil itu kian terpuruk, menyadari diri sebagai kawula dari pihak yang
berkuasa, tapi tak merasakan kehadiran sang penguasa sebagai among saat
mereka sedang dihancurkan. Tinggallah sisa-sisa Dukuh Paruk mencoba bangkit
lagi, sendirian, dalam kemelaratan dan pengasingan oleh dunia luar. Toh mereka
tetap hidup, meski tak lebih dari sekedar hidup. Derap kaki tentara menimbulkan
trauma dalam diri setiap penduduk dewasa, menunjukkan seberapa dalam luka yang
ditimbulkan oleh pergulatan kekuasaan yang sama sekali mereka buta tentangnya.
Hanya terseret, tak lebih dari itu. Dukuh Paruk tetap melarat dan terbelakang,
tapi kali ini lebih parah, identitas dan tradisi mereka dicabut dengan paksa.
Dan
perlahan, saat derap pembangunan menunjukkan bunyinya di lahan luas pesawahan
sekeliling Dukuh Paruk, perlahan keterpencilan mereka mencair, pria yang dewasa
diajak menjadi kuli proyek, sedang yang wanita membuka warung. Dan para
petinggi proyek lagi-lagi menyadari kecantikan Srintil yang terlalu menonjol di
dukuh yang kumuh itu. Setelah beberapa orang gagal menjadikan Srintil sebagai
gendaknya, maka Bajus (salah satu petinggi proyek) memilih mendekati Srintil
dengan cara yang sopan. Selama 6 bulan kedekatan mereka, tak pernah sekalipun
disentuhnya kulit Srintil, maka diam-diam Srintil pun menginginkan Bajus
menikahinya.
Tapi
lagi-lagi malapetaka, karena tujuan Bajus kemudian hanyalah mengumpankan
Srintil kepada bosnya, agar Si Bos memberikan proyek yang diimpikan Bajus.
Sogokan halus dengan Srintil sebagai pelicinnya. Tapi Srintil yang sudah
ditinggalkan indang ronggengnya menolak dengan keras keinginan Bajus, kali
ini ia begitu terpukul atas perlakuan Bajus, yang tidak terima penolakan
Srintil dan memaki dengan kasar masa lalu Srintil sebagai antek PKI. Luka yang
tak pernah sembuh itu berdarah kembali, detik itu juga Srintil kehilangan
kesadarannya, menjadi gila dan tak mengenali siapa pun, bahkan Rasus yang
kemudian pulang dan mendapati bahwa semuanya sudah terlambat.
Saat
menutup lembaran buku ini, entah kenapa hati saya perih sekali. Kemiskinan dan
keterbelakangan selalu menjadi masalah yang berlarat-larat di negeri ini. Di
negeri yang kaya ini.
Dan
kesimpulan akhir saya, novel Ahmad Tohari ini adalah novel yang kaya, konflik
batin antar pelaku yang rumit, huru hara politis, kepunahan suatu tradisi,
berikut penggambaran yang detil dan mengalir. Untuk para pecinta buku, trilogi
ini sebuah mahakarya yang harus anda baca.
Terima
kasih.
Note:
Pada
novel cetakan terbaru dari Gramedia, ketiga seri dari trilogi ini dijadikan
satu dalam sebuah buku, dan beberapa bagian yang selama 22 tahun dilarang
cetak, ditampilkan kembali dengan utuh.
*gambar saya copy dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ronggeng_Dukuh_Paruk
Komentar
Posting Komentar