Dogi in Memoriam

Hari ini keluarga kami kehilangan salah satu sahabat: seekor anjing penjaga warna coklat bernama Dogi. Ia tewas terbunuh tadi malam.
Terbunuh saya bilang, karena ketika ditemukan tergeletak di kebun depan, mulutnya mengeluarkan busa, ciri khas binatang yang mati diracun. Dan seribu satu pertanyaan berkecamuk di benak kami, siapa yang tega membunuhnya, karena Dogi tak pernah singgah ke halaman tetangga, ia hanya berputar-putar di sekitar area rumah kami, jika tak di halaman depan ya di kebun belakang. Meski memang harus diakui Dogi sangat galak terhadap tamu yang berkunjung ke rumah, ia tak segan-segan menyalak keras bahkan sampai menggigit jika sang tamu berkeras masuk ke halaman sebelum salah satu dari anggota keluarga kami keluar.
Entahlah mungkin bertahun-tahun sering dirantai membuatnya jadi galak begitu. Tapi bagaimana pun ia anjing yang bisa diandalkan, bahkan ketika ia sedang di kebun belakang yang jaraknya cukup jauh dari rumah utama, ia tetap bisa mencium ketika ada orang asing yang datang.
Sebenarnya, saya sama sekali tak suka anjing. Pelajaran fikih yang saya dapat waktu kecil dulu mengatakan bahwa anjing termasuk salah satu binatang dengan kategori najis kelas berat, itu cukup untuk membuat saya menepi tak mau dekat-dekat pada binatang ini. Perasaan yang tak berubah ketika Air diberi hadiah seekor anak anjing oleh Mang Irin waktu kecil dulu. Maka saya lega ketika mendapati  anak anjing yang lama-lama tumbuh sampai hampir sama tinggi dengan anak 4 tahun itu dirantai di halaman rumah. Cukuplah tugasnya hanya menjaga rumah. Itu saja. Siapa sangka jika perasaan saya terhadapnya lambat laun berubah.
Saya mulai memperhatikan sorot matanya yang bersahabat, dan sedikit demi sedikit entah bagaimana saya mulai bersahabat dengan binatang itu. Mungkin terdengar bodoh, tapi saat memberi ia makan, saya suka bercerita padanya, meski tahu ia tak mengerti, meski tahu ia tak akan menanggapi. Saya juga bilang padanya, saya tak mau dekat-dekat karena malas jika baju atau kulit saya sampai tersentuh saya  harus mencuci bagian yang tersentuh itu tujuh kali dan salah satunya harus dengan tanah. Aduh ribet sekali. Dan ajaibnya entah kenapa, ia selalu menjaga jarak dengan saya, bahkan ketika ia berjalan mengekor di belakang saya. Tapi meskipun begitu saya tak meragukan persahabatan kami karena dimana pun ia, ketika saya panggil ia akan selalu berlari dan datang menghampiri.
Maka saya cukup terpukul mendapatinya tergeletak di sebelah kolam ikan tadi malam. Saat saya panggil ia tak menjawab, tak berlari menghampiri dengan semangat seperti selalu dilakukannya. Ia hanya bergeming, dan seketika saya tahu ada yang salah. Dan busa di mulutnya menjelaskan semuanya, meski tak ada sedikit pun dugaan tentang siapa yang membunuhnya.
Tubuhnya masih lemas  saat kami menguburnya, dan sebagai penghormatan terakhir kali itu saya menyentuhnya saat memindahkan jasadnya ke kuburan kecil yang digali suami saya untuknya, meski dengan sarung tangan tentunya.
Aneh, bagaimana bisa hati saya sesedih itu, bahkan saya sampai menangis saat melihat sedikit demi sedikit urugan tanah menutupi tubuhnya. Bahkan pagi ini, hati saya perih melihat tempat makannya yang tergeletak di kebun belakang. Perih yang tak kunjung hilang meskipun siangnya suami saya membawakan anjing yang lain untuk menjaga rumah. Spesies yang sama, tapi saya yakin tak bisa menggantikan Dogi untuk kami.
Selamat jalan Dogi, terima kasih untuk apa yang sudah kamu lakukan untuk keluarga kami. Siapapun yang membunuhmu, kami yakin ia akan mendapat balasan setimpal, karena bagaimana pun juga kamu tetap makhluk Tuhan yang tak boleh disakiti.
Bukankah manusia itu aneh, selalu saja merasakan arti sesuatu saat sudah kehilangan.

Begitu pun juga saya ternyata.

Komentar

Postingan Populer