Resensi Film SUPERNOVA; Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh; Great Novel, Poor Movie



Jujur saja, saya bukan termasuk orang yang hobi nonton. Karena itulah di kolom isian hobby pada form standar biodata, saya selalu mengisi "membaca" alih-alih "menonton".  Maka jangan harap saya akan rela berdesak-desakkan untuk mengantri tiket sebuah film yang baru tayang perdana, seheboh apapun pemberitaan tentang film tersebut. Tapi film SUPERNOVA: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh, adalah film yang telah membuat saya rela mencuri waktu beberapa jam dari keseharian saya khusus untuk menonton bahkan pada hari tayang perdananya tanggal 11 Desember 2014 kemarin. Semata karena novelnya adalah salah satu buku favorit yang sangat saya suka dan mungkin telah saya baca ulang entah sudah berapa puluh kali hingga saat ini.

Tiket yang habis dan antrian yang cukup panjang mungkin menunjukkan animo mayarakat yang cukup baik, yang saya yakin juga serupa dengan saya, sudah jatuh cinta duluan pada bukunya hingga penasaran akan seperti apa jadinya jika difilmkan. Tapi sayang, novel dan film adalah dua hal yang sangat berbeda. Tak seperti novel yang memungkinkan imajinasi untuk berkembang seluas mungkin, film adalah karya seni yang berbatas durasi. Tak banyak film yang berhasil mengadaptasi versi bukunya dengan baik dan film SUPERNOVA: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh ini jelas bukan salah satu diantaranya.

Harapan saya yang sudah melambung tinggi saat opening film yang dimulai dengan penjelasan tentang order dan chaos serta turbulensi dihempas begitu saja saat tiba pada adegan Dhimas bertemu Ruben. Dialognya terdengar tak wajar, seperti pembacaan deklamasi saat di sekolah dasar dahulu. Saya masih mencoba untuk sabar, berasumsi keganjilan dialog ini hanya dilakukan oleh pemeran Dimas dan Ruben, tapi betapa kecewanya saya karena gaya deklamasi ini juga diperlihatkan oleh semua tokoh di film ini dari awal hingga akhir. Sayang sekali karena dialog-dialognya meskipun dicomot persis dari bukunya, tapi penuturannya tak mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari hingga membuat film ini kelihatan sangat absurd dan dibuat-buat.

Selain dialog yang monoton dan kualitas akting para aktornya yang parah, penokohannya pun agak kurang pas. Saya pikir tokoh Re akan kelihatan sedikit lebih maskulin, dan pilihan Herjunot Ali sepertinya agak terlalu klemek-klemek, mencerminkan pria urban memang, tapi tak menunjukkan sisi Ferre yang mencapai posisi CEO  dengan kerja keras hasil sendiri.

Sementara itu, pilihan untuk tokoh Ale pun tak membantu. Tokoh Ale di bukunya digambarkan sebagai sahabat terbaik Ferre yang sama-sama lulusan Amerika tapi berkecimpung di dunia otomotif, sosok Ale inilah yang mencerca keputusan Re untuk mencintai Rana, memaki sekaligus menasihati Re habis-habisan, tapi di sisi lain Ale adalah sosok yang tegas berkata akan tetap menjadi sahabat dan mendukung Re sebodoh apapun keputusan Re. Sementara di film, sosok Ale ini hanya menjadi penggembira yang tidak berkontribusi apapun untuk Re, selain menjadi pembanding yang mempertegas bahwa Re itu keren dan Ale itu konyol.

Dari semua tokoh di film Supernova ini, mungkin hanya Diva yang menurut saya paling mending. Sikap sinisnya cocok meski di akhir film lagi-lagi sayang sekali karena ia harus mengucap dialog bak deklamasi lagi. 

Soundtrack film yang dibawakan oleh Nidji mungkin adalah hal terbaik dalam film ini, meskipun karena karakternya yang terlalu kuat film dan soundtrack jadinya seperti berjalan sendiri-sendiri. Pengaruh sound effect juga saya rasa tak banyak membantu. Ada banyak adegan yang di buku bisa mengharu biru, ternyata malah menjadi adegan yang aneh dan datar di film. Contohnya adalah adegan ketika Arwin merayu Rana di kamar tidur. Getirnya hati Rana saat harus melayani Arwin sedangkan dalam hati ia memanggil-manggil Ferre gagal untuk dijelaskan dalam film dan malah menjadi adegan aneh yang entah harus disikapi bagaimana oleh penonton, lucu bukan, sedih juga ngga.

Juga pada malam saat Arwin mengatakan pada Rana bahwa ia akan merelakan Rana untuk Ferre. Tak ada pergulatan batin Arwin yang ditonjolkan, tentang bagaimana seorang suami yang dikhianati tapi alih-alih murka malah merelakan istrinya untuk pergi pada pria lain. Merelakan diri sendiri untuk menahan sakit semata demi kebahagiaan orang yang dicintai. Unconditional love, dengan dialog yang sangat indah di buku, terasa kering dan tidak real dalam filmnya. Arwin mengucapkan kalimat yang menyatakan betapa ia mencintai Rana hingga merelakan kepergian Rana  dengan cara yang tak jauh beda dari ketika ia mengabari Rana bahwa ia tak bisa pulang saat pesta ulang tahun Rana. Dan pelukan Rana pada Arwin usai Arwin berkata begitu pun tak mampu mencerminkan orang yang memutuskan untuk kembali saat hampir beranjak pergi.

Selain adegan-adegan yang aneh, juga ada banyak hal yang rasanya tak masuk akal dalam film ini. Tempat dalam film ini yang katanya pseudo Jakarta ternyata punya pantai sangat indah yang hampir menyerupai Bali. Juga saat Diva berkemah di gunung, bisa-bisanya sambil membuka internet yang membuat saya bertanya-tanya sendiri, memangnya ada sinyal ya?,

Dua jam saya menonton film ini, dua jam pula saya memaki-maki sendiri. Antara bosan setengah mati ingin segera meninggalkan ruangan bioskop dan gemas karena buku sebagus ini menjadi sangat dangkal ketika diangkat ke sebuah film. Menjadi tak lebih dari sekedar cerita selingkuh biasa  dan tak jelas pesan apa yang ingin disampaikan oleh film ini.

Saat dua jam habis dan film telah selesai diputar, saya menarik nafas lega karena bisa segera meninggalkan ruangan bioskop. Tapi jujur sempat terlintas pertanyaan dalam hati saya, apakah Dee sempat menonton filmnya sebelum film ini di-launching?, Jika ya, tidak kecewakah Dee?, karena saya sendiri yang hanya seorang penggemar bukunya pun amat sangat kecewa.

To: Indah_widya_a, trims udah bayarin nonton film ini karena sayang banget kalo harus bayar sendiri demi film seperti ini hahaha…., next time i'll treat you mate, ayo kamu mau nonton apa? ^^


Komentar

Postingan Populer