Tentang kamu, Nak...
Untuk: Rahya
Hanggana Langit Rahmatungga
Hampir 12 bulan
sudah kita bersama Nak, bergerak bersama, bernapas bersama, merasa bersama,
sejak engkau masih berupa embrio kecil sampai gerakanmu mampu membuat tonjolan
kecil di perutku.
12 bulan yang
istimewa, namun juga mencemaskan, mengingat begitu banyak hal yang terjadi pada
kita berdua selama 12 bulan itu. Kamu ingat malam-malam panjang itu Nak?, saat
kita berdua , ditemani secangkir kopi, ( yang aku tahu tak boleh dikonsumsi
wanita hamil, tapi menjadi benteng terakhirku agar bisa terjaga sepanjang
malam), bergulat dengan setumpuk buku teks, paper dan tentu saja si Macintosh
yang sudah harus di-upgrade itu. Buku-buku teknik di sebelah kanan dan
buku-buku filsafat di sebelah kiri. Rasanya tak pernah sepanjang hidupku, harus
mencerna sederetan rumus dan mengintisarikan pemikiran tokoh-tokoh besar dunia
dalam satu waktu sekaligus, tapi bersamamu Nak, entah bagaimana, saat pagi tiba
satu jurnal humaniora sudah siap disetor dan ujian siang nanti pun rasanya tak
akan terlalu sulit dihadapi.
Ingatkah juga kamu
saat-saat itu Nak, saat kita berdua jatuh dari tangga kebun belakang, sekujur
tubuhku rasanya remuk redam, tapi kamu Nak, tersembunyi dengan aman dan rasanya
semua sakitku terbayar sudah.
Dan ingatkah juga
kamu Nak, saat waktu perkiraan lahirmu telah lewat jauh, tapi kamu tak juga mau
meninggalkan rahimku, kecemasan itu rasanya menjadi-jadi, berganti dengan
ketakutan yang setiap hari membuatku bertanya padamu:”Kapan kamu lahir,Nak?”.
Pertanyaan-pertanyaan
tetangga setiap bertemu rasanya semakin membuat khawatir:”Loh, belum melahirkan
juga??”, sementara satu persatu teman-teman sesama bumil melahirkan bayinya,
hanya kita berdua yang masih setia berbagi ruang dalam satu tubuh bersama-sama.
“Induksi atau
operasi”, rasanya hanya dua kata itu saja yang kita dengar setiap periksa ke
dokter, tapi ayahmu Nak, yang dibesarkan di lingkungan orang Sunda yang
konservatif , menolak keras saran dokter. “Setiap manusia yang lahir punya dawuh masing-masing”,
selalu begitu katanya. “Ia akan lahir dengan normal dan selamat, jadi biarkan
ia memilih waktunya sendiri”, itu katanya tentangmu, dan aku hanya bisa
terdiam, berdoa dalam hati karena cemas yang tak kunjung reda.
Satu bulan
menjelang kelahiranmu, aku terserang insomnia akut, sepanjang malam aku
mengumpulkan bahan-bahan seputar kehamilan postterm. Mencari-cari
di google, apapun yang bisa menentramkan hatiku yang tak bisa berhenti
mencemaskanmu. Tahukah kamu Nak, setiap bangun pagi hal yang pertama kulakukan
adalah memegang perut, berharap engkau memberikan tanda bahwa engkau di dalam
cairan amniotik di dalam sana masih hidup dan sehat.
Doa-doa panjang
diiringi tangis jiwa. Dan kekhawatiran yang semakin memuncak melihat bayi
tetangga: “Sudah bisa tengkurep loh” celoteh ibu yang satu, “Beratnya
sekarang 7 kilo”, ungkap ibu yang lain, padahal hanya berselang minggu
kami saling mengabarkan berita bahagia kehadiran si calon bayi.
Satu-satunya yang
cukup meringankan perasaan hanya ucapan Nenek, ibu dari ayahmu yang berkata:
“Tak apa-apa, ayahnya juga dulu satu tahun dalam kandungan Ibu”, dan akhirnya,
aku memilih pasrah. Yang akan terjadi, terjadilah.
Dan alih-alih terus
mencemaskanmu Nak, aku malah memilih untuk menyibukkan diri. Berjalan kaki bolak
balik ke depan kompleks meski hanya sekedar untuk membeli kue-kue jajan pasar,
mencoba memasak jenis-jenis makanan yang cukup rumit, membaca sampai larut
malam, dan terakhir ikut membantu ditoko. Tak pernah aku bermanja diri bahkan
saat berbadan dua, tapi rasanya takpernah juga aku mendera diri sendiri sekeras
ini.
Kamu ingat saat
kita dimarahi Kakek, Nak?, karena aku berkeras ikut membantu mengurusi
ayam-ayam kita menjelang Idul Fitri kemarin, 1,2 ton ayam Nak, maka manalah
mungkin aku membiarkan ayahmu mengurusi usahanya sendirian,sementara ia masih
harus menyelesaikan tugasnya juga di kampus.
Dan akhirnya
keajaiban itu datang juga, sama seperti hujan yang turun tiba-tiba di tengah
terik langit kota Bandung siang itu, begitu pun tanda-tanda kelahiranmu.
Meskipun penantian yang begitu lama sempat membuatku mengabaikan tanda-tanda
kehadiranmu. Flek-flek darah dan mulas kuanggap hanya efek dari kelelahan
mengurus ayam-ayam itu seharian. Tapi itu bukan lagi mulas biasa. Mulas yang
rasanya sampai menembus tulang belakang. Mulas berjeda yang setiap entakannya
seolah menarik seluruh nafas sebelum meluluhlantakkan semua ketahanan terhadap
rasa sakit.
Dan Dokter,
bisa-bisanya ia menyuruh kita pulang lagi padahal jeda mulasnya sudah setengah
jam sekali. Maka jangan salahkan saya Dokter, satu jam kemudian saya menemui
anda lagi dengan air ketuban yang sudah pecah. Dan perjuangan kita berdua pun
dimulai.
Tahukah kamu Nak?,
tiga kali mengalami proses melahirkan ternyata tak membuatku mampu menghadapi
satu kali lagi proses melahirkan dengan berani.Sebaliknya justru Nak, aku
takut, sangatlah takut. Untaian dzikir yang sudah kudaras dalam hati ribuan
kali itu menenangkan, ya memang menenangkan, tapi saat gelombang sakit itu
menghantam tulang belakang sekali lagi dan lagi dan lagi, perlu lebih dari
sekedar sebaris kombinasi huruf-huruf hijaiyyah. Bukan hanya tentang kesabaran,
tapi juga sebuah ujian tentang pemahaman bahwa sakit adalah hal yang tak
bisa dihindari, tapi ketakutan adalah hal yang harus dihadapi. Maka kuserahkan
semuanya pada naluri. Pada tubuh ringkih yang terbukti telah ribuan tahun sudah
dari generasi ke generasi mengemban tugas reproduksi manusia.
Tarik nafas,
ya…tarik nafas, instruksi dokter yang terdengar samar-samar. Ingin menjerit
keras-keras, tapi layakkah engkau hadir dengan keluhan Nak, dan bagaimana bisa
aku mengharapkanmu tumbuh menjadi manusia tangguh jika di awal penyambutanmu
saja aku sudah menunjukkan kecengengan seorang wanita. Maka aku memilih menelan
bulat-bulat jeritan yang ingin kuteriakkan, menggantinya dengan tarikan nafas
yang coba kuatur sesuai hitungan tasbih. Tapi semenyiksa inikah rasanya?.
Ingatanku sempurna lupa, padahal tiga kali sudah aku menjalani sensasi sakit
yang sama. Aku lupa tentang bagaimana susah dan sakitnya menahan seluruh otot
yang serempak berkontraksi ingin mendorongmu keluar sementara dokter bilang tak
boleh karena pembukaan yang belum sempurna. Tarik nafas lagi…sampai aku
bertanya sambil setengah menahan isak kapan pembukaannya sempurna.
Dan ketika saat itu
tiba Nak, serentetan instruksi menyerangku membabi buta, tentang bagaimana aku
harus menahan dagu, menatap ke bawah dan mengerahkan seluruh tenaga yang
tersisa, seperti disuruh berlari satu putaran lagi di Sabuga sementara kakimu
bahkan sudah goyah, tak mampu lagi menopang bahkan berat badanmu sendiri.
Seperti menapakkan sebelah kaki di perbatasan antara hidup dan mati. Dan saat
aku hampir menyerah pada seluruh sakit itu, tangisanmu merenggut kembali
segenap kesadaranku yang sudah timbul tenggelam. Kamu selamat Nak, kita berdua
selamat. Dan saat tubuh mungilmu yang masih berselimut lapisan lemak itu
didekapkan padaku, aku mengucap segenap syukur, pertarunganku tak sia-sia.
Nak, tanpa terasa
tiga bulan sudah hari-hariku diisi dengan kehadiranmu. Dan aku belajar lagi
tentang bagaimana menjadi orang tua dari seorang bayi, tentang malam-malam
panjang saat kamu sakit dan menangis semalaman, tentang senyum dan tawamu
yang selalu mampu menghilangkan semua penat dan lelahku. Tentang bagaimana
lengkapnya perasaanku sebagai seorang ibu saat kamu tidur dalam buaianku. Dan
yang paling ajaib adalah tentang bagaimana aku belajar bahwa kehadiranmu
tidaklah mengurangi cinta dalam hatiku untuk kakak-kakakmu, sebaliknya justru,
kehadiranmu menggenapkan. Membuatku menyimak ulang seluruh kapabilitasku
menjadi orang tua. Rasanya belum pantas, dan mungkin tak akan pernah pantas,
mengemban tanggung jawab berat mendidik empat jiwa yang berpotensi menjadi apa
saja. Seperti berhadapan dengan selembar kertas kosong yang bebas untuk
kutulisi apa saja. Sementara yang kupahami sekarang hanyalah bahwa menjadi
orang tua adalah proses pembelajaran seumur hidup. Dan aku akan terus belajar
Nak, mungkin tak akan pernah menjadi ibu yang sempurna, tapi aku akan belajar
dari kesalahan, aku tak akan menyerah berusaha menjadi ibu yang baik, meski
sering keraguan itu muncul: mampukah aku Nak?.
Komentar
Posting Komentar